Selasa, 30 Oktober 2012

Pendeng Keramat


Gbr Balai Keramat





A.       Pendeng Keramat

Agama adalah sesuatu yang dianggap dari Tuhan Yang Maha Esa telah sedang dan akan mempengaruhi pola hidup dan tingkah laku para pemeluknya. Pengaruh agama dalam kehidupan berbudaya dan sebaliknya telah menciptakan suatu tradisi yang beraneka ragam. Dialektika hubungan agama dan tradisi terjadi dalam masyarakat yang digolongkan dalam golongan tradisional (Parlin, 2000). Hindu sebagai salah satu agama yang diakui keberadaannya di Indonesia dengan seperangkat nilainya telah mempengaruhi pola budaya dan tradisi pemeluknya. Aspek sosial budaya dari masyarakat setempat ketika agama Islam, Kristen mempengaruhinya tidak serta merta terkikis seketika, namun terjadi proses transformasi yang hingga kini masih terus berlangsung. Sebagai contoh adalah Pendeng Keramat  yang mengandung nilai adat dan budaya  ditinjau dari sarana dan prasarana upacara tersebut yang selalu diyakikni oleh masyarakat Hindu Kaharingan dan merupakan suatu tradisi leluhur secara turun temurun diperhatikan, dilestarikan sampai saat sekarang ini sehingga menjadi sebuah adat atau tradisi. Bahwa untuk memahami kebudayaan masyarakat dayak kalimamtan tengah tidak dapat dilepaskan dari agama Hindu Kaharingan yang telah memainkan peranan dalam membentuk kebudayaan itu, karena didalam kebudayaan tersebut terkandung unsur ritual keagamaan Hindu Kaharingan.
Akulturasi budaya agama Hindu Kaharingan menurut perkiraan telah ada sejak nenek moyang dulu kala yang pada asal mulanya disebut Agama Helu. Di Kalimantan Tengah khususnya, agama Hindu Kaharingan merupakan sebuah tradisi dan ritual adat istiadat yang turun temurun dari nenek moyang, sehingga melahirkan kearifan lokal yang mampu menciptakan suasana harmonis dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Tengah. Upacara Pendeng Keramat adalah upacara pembangunan Keramat (berbentuk seperti rumah kecil) yang bertujuan untuk memberikan batas-batas antara manusia dengan mahluk gaib yakni dengan cara mendirikan sebuah keramat untuk tempat tinggal dari pada mahluk halus tersebut. Hal ini janganlah kita artikan secara sempit pembuatan keramat ini hanyalah sebagai simbol penghormatan manusia kepada mahluk halus agar tidak saling mengganggu kehidupan masing-masing. (wawancara, Rabiadi tanggal 28 desember 2011)
Terjaganya upacara Pendeng Keramat dalam kehidupan masyarakat Hindu Kaharingan ini tentunya tidak berlangsung begitu saja, melainkan ada nilai-nilai yang menjadi pandangan hidup dan sandaran di masyarakat. Menurut keyakinan orang dayak Kaharingan, kehidupan dipandang telah mengikuti suatu pola yang agung, teratur dan terkoordinasi yang harus diterima oleh mereka. Mereka harus menselaraskan diri dengan apa yang lebih agung dari mereka sendiri serta berusaha agar mereka tetap dalam keadaan damai dan tentram (selamat). Maksud utama praktek sosio religius orang dayak tidak lain kecuali mendapatkan keselamatan di dunia ini tetap lestari dan terjaganya Upacara Pendeng Keramat  ini menjadikan keunikan tersendiri bagi masyarakat Hindu Kaharingan. Walaupun di tengah gencarnya arus modernisasi dan globalisasi serta letak geografis serta pengaruh dari budaya luar yang berada di tengah kota/kabupaten, masyarakat Hindu kaharingan tetap setia menjalankan tradisi ritual tersebut. Hal inilah yang menimbulkan keinginan penulis meneliti lebih jauh mengenai upacara Pendeng Keramat. Di balik tradisi tersebut Hindu Kaharingan di Kalimantan Tengah khususnya di Sekolah Tinggi Agama Hindu Tampung Penyang (STAHN-TP) Palangka Raya yang merupakan pilar utama pencetak-pencetak umat Hindu yang berkualitas dan siap bersaing pada arus globalisasi dan pembangunan umat Hindu yang bermartabat, upacara Pendeng Keramat dirasakan sangat penting guna menjaga keharmonisan antara manusia dengan mahluk gaib yang ada di sekitar wilayah gedung STAHN-TP Palangka Raya agar tidak terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan. Karena dengan menjaga hubungan yang tidak saling mengganggu kepentingan masing-masing maka akan tercipta suasana yang aman tanpa merasa keadaan yang tidak aman. Upacara Pendeng Keramat juga adalah sebagai salah satu contoh bahwa umat Hindu Kaharingan sangat menghormati keberadaan mahluk gaib yang juga merupakan ciptaan Ranying Hatalla sebagai bentuk Kemahakuasaan-Nya dalam menciptakan segala kehendaknya (wawancara, Sika U. Jatha tanggal 28 Desember 2011) . Karena itulah upacara pendeng keramat ini dilaksanakan oleh STAHN-TP Palangkaraya sebagai pengakuan keberadaan terhadap mahluk gaib tersebut dan juga sebagai sarana komunikasi antara manusia dan mahluk gaib tersebut.
Dalam pelaksanaan upacara ritual keagamaan Hindu Kaharingan sejak nenek moyang dahulu kala dilakukan oleh Basir/Pisor. Mereka ini memegang peranan yang utama dalam pelaksanaan kegiatan yang disebut dengan rohaniawan atau ulama Kaharingan. Bagi umat Hindu Kaharingan yang memiliki kedudukan terhormat karena dalam tugas melaksanakan upacara Pendeng Keramat bagi masyarakat Hindu Kaharingan. Di STAHN-TP Palangka Rata yang berperan dalam upacara Pendeng Keramat  adalah Basir karena Basir adalah orang yang memiliki pengetahuan tentang hal tersebut. Pelaksanaan upacara Pendeng Keramat  bagi masyarakat Hindu Kaharingan juga dapat menyesuaikan tradisi daerah masing-masing yang melaksanakan upacara tersebut tidak semua orang bisa melaksanakan, karena memiliki syarat tertentu dan memiliki pengetahuan serta keahlian khususnya pelaksanaan Balian. Basir adalah orang yang berpengalaman sebagai pelaksana upacara tersebut tentunya tidak bisa lepas dari ajaran yang telah mereka pelajari pada saat berguru, sehingga pelaksanaan upacara ritual tersebut kelihatannya berbeda-beda, namun tujuannya adalah sama, bahasa yang digunakan oleh para basir adalah menggunakan bahasa Sangiang (Bahasa Hatalla/Tuhan). Basir atau orang yang dituakan mempunyai ilmu pengetahuan didalam upacara dimaksud mempunyai peranan yang sangat penting pada setiap upacara Pendeng Keramat bagi masyarakat Hindu Kaharingan sesuaia dengan tugasnya masing-masing.
Sarana yang digunakan dalam upacara Pendeng Keramat ini semua memiliki nilai maupun makna tersendiri bagi umat Hindu Kaharingan itu sendiri. Adapun sarana yang digunakan adalah sebagai berikut.
-       Katil, Katil adalah tempat para Basir duduk saat Balian.
-       Katambung, Katambung adalah alat sejenis gendang kecil yang ditabuh para basir dalam balian.
-       Tambak. Tambak adalah mangkok yang berisi beras, giling pinang, uang logam dan beras hambaruan.
-       Purun atau tikar
-       Undus Tanak
-       Parapen
-       Supak Tatumbur
-       Garantung
-       Tampung papas
-       Bindang Garing
-       Balai Keramat adalah tempat bermukimnya para mahluk halus/gaib yang di anggap suci.
-       Ancak Mihing adalah tempat sesajen
-       Sesajen adalah berbagai macam makanan yang ditujukan untuk para mahluk halus maupun untuk Sahur Parapah (Manifestasi Tuhan).

B.       Rangkaian Upacara Pendeng Keramat di Palangka Raya.

Dalam setiap upacara keagaaman Hindu Kaharingan selalu mempunyai rangkaian upacara yang saling berkaitan antara upacara yang satu dengan yang lainnya. Tidak terkecuali dalam upacara pendeng keramat. Adapun rangkaian upacara Pendeng Keramat di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP) Palangka Raya adalah :
-       Penjemputan Basir
Penjemputan Basir adalah rangkaian pertama dalam upacara Pendeng Keramat. Karena Basir adalah orang yang mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa Sangiang (bahasa Hatalla).
-       Balian Tantulak Dahiang
Balian Tantulak dahiang adalah balian yang bertujuan untuk menjauhkan segala hal yang bersifat negatif agar tidak mengganggu jalannya upacara Pendeng Keramat.
-       Mampendeng Keramat (membangun keramat)
Mampendeng Keramat adalah mendirikan balai keramat yang digunakan untuk tempat bersemayamnya mahluk halus.
-       Membuat Ancak Mihing
Pembuatan Ancak Mihing dilakukan oleh Basir  dengan Sarana bambu, kayu kajunjung, kayu mengkudu, bendera (kuning, merah dan putih), dan rotan.
-       Perbaikan Arah Burung Tingang
-       Mecaru
Dalam Bahasa Sanskerta, caru artinya cantik, indah, harmonis; dalam Bahasa Kawi, caru artinya kurban. Sebagai kata kerja, mecaru artinya menghaturkan kurban untuk memperindah dan mengharmoniskan sesuatu. Dalam arti yang lebih tegas, mecaru adalah suatu upacara kurban yang bertujuan untuk mengharmoniskan bhuwana agung dan bhuwana alit agar menjadi baik, indah, lestari. Dengan demikian, upacara mecaru adalah aplikasi dari filosofi Trihitakarana, seperti yang disebutkan dalam Lontar Pakem Gama Tirta, agar terjadi keharmonisan dalam hubungan antara manusia dengan Sanghyang Widhi (Parhyangan), hubungan antara manusia dengan sesama manusia (Pawongan) dan hubungan antara manusia dengan alam (Palemahan).
-       Balian Baramu
Balian Baramu adalah balian yang dilakukan untuk mengumpulkan alat upacara yang akan digunakan dalam pendeng keramat yaitu tulak (berangkat) nikap kayun  penyang karuhei tatau terdiri dari kayu busik, tali, gatang, kayu balawan, tabalien (ulin) kajunjung dan kanaruhung.
-       Balian Marawei Sahur
Balian Marawei Sahur adalah balian yang dilakukan untuk memberi tahu Sahur bahwa akan diadakannya upacara Pendeng Keramat diharapkan agar mereka bisa membantu untuk mengusir yang jahat agar tidak mengganggu jalannya upacara.
-       Tabuh
Adalah upacara puncak dalam upacara Pendeng Keramat. Yang mana dalam tabuh ini Para Basir mengkurbankan hewan kurban untuk sebagai makanan para mahluk halus yang ada dalam balai keramat yang akan didirikan nantinya.
-       Balian Pabuli Sangiang
Balian pabuli sangiang adalah balian yang dilakukan oleh para basir untuk memulangkan para sangiang (roh pembantu Tuhan) yang mereka gunakan dalam upacara Balian Pendeng Keramat.
-       Mengantar Para Basir Pulang
Mengantar para Basir Pulang kerumahnya masing-masing adalah rangkaian terakhir dari upacara Pendeng Keramat yang di lakukan di Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang (STAHN-TP) Palangka Raya (wawancara Ugoi A. Bunu tanggal 29 desember 2011).

Sabtu, 27 Oktober 2012

KEWENANGAN DAMANG KEPALA ADAT DALAM MENYELESAIKAN KASUS HAMIL DILUAR NIKAH


       BAB I
PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Minimnya informasi tentang peradilan adat dan upaya sistematis para pihak terutama negara untuk mengaburkan makna hakikinya, telah mengaburkan pengetahuan banyak orang tentangnya. Kini, cerita tentang peradilan adat adalah cerita lama yang terbungkus dalam bingkai usang sejarah negara ini. Kaburnya makna peradilan adat makin kentara khususnya bagi masyarakat yang tinggal di perkotaan dan jauh dari realitas peradilan adat yang sesungguhnya. Tetapi di beberapa wilayah yakni komunitas-komunitas adat di berbagai kawasan Indonesia pengadilan adat masih kental mewarnai kehidupan masyarakat.
Sebagai sebuah sistem hukum yang hidup dan berkembang di masyarakat, peradilan adat mengemban peran penting bagi peradaban komunitas adat di Indonesia. Ia berfungsi sebagai pilar penjaga keseimbangan hubungan sosial dan kearifan lokal, misalnya, menjaga harmonisasi hubungan antara masyarakat dan alamnya. Dengan demikian ia bukan hanya pilar penyeimbang, tetapi juga entitas budaya masyarakat adat.
Pasang surut eksistensi Peradilan adat tidak terlepas dari kuatnya pengaruh positivisme hukum dalam cara pikir penyelenggara negara. Cara pikir ini sangat mengagungkan formalitas legal, dan dengan demikian memaklumkan tidak ada pengadilan lain, selain Peradilan negara. Akibatnya, peradilan adat yang ada sejak ratusan tahun lalu dihapus dari sistem hukum Indonesia. Padahal,Von Savigny (W. Friedmann 1967: 211) mengemukakan beberapa pendapat tentang hukum diantaranya: pertama, hukum ditemukan, bukan dibuat. Pertumbuhan hukum merupakan proses yang tidak disadari dan organis, akibatnya perundang-undangan kurang penting dibandingkan adat kebiasaan. Kedua, Undang-undang tidak berlaku atau tidak dapat diterapkan secara universal. Setiap masyarakat mengembangkan hukum kebiasaannya sendiri, karena mempunyai bahasa, adat istiadat dan konstitusi yang khas, sehingga Volkgeist (Jiwa Bangsa) akan terlihat dalam hukumnya.
Unifikasi sistem hukum Indonesia yang ditujukan untuk mewujudkan kepastian hukum dan memudahkan penyelenggaraan hukum seakan merupakan harga mati. Hal ini tampak di setiap nafas peraturan perundang-undangan dan kebijakan pemerintah yang tak memberi ruang gerak kepada peradilan adat untuk menunjukkan keadilan substantifnya.
Penyeragaman proses pembentukan, penerapan dan penegakan hukum makin berdiri angkuh dengan keadilan normatifnya seperti yang terpancar dari setiap Bab dan Pasal yang terkodifikasi rapi. Padahal, Sesungguhnya unifikasi hukum telah merenggut peradilan adat dari habitatnya, yaitu masyarakat adat. Sehingga di hampir semua komunitas adat Indonesia sistem asli masyarakat adat telah hancur.
Dalam Pasal 28 I Ayat (3) UUD 1945 disebutkan:
“Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan jaman dan peradaban”.




Pasal ini diperkuat oleh Pasal 6 Ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM:
“Dalam rangka penegakan hak asasi manusia, perbedaan dan kebutuhan dalam masyarakat hukum adat harus diperhatikan dan dilindungi oleh hukum,masyarakat dan pemerintah”.

Jadi menurut kedua pasal tersebut pemerintah wajib mengakui, menghormati dan memajukan hukum adat dan pengadilan adat. Karena pengadilan adat merupakan manifestasi identitas budaya masyarakat adat, maka pengabaian, penyingkiran dan pemusnahannya merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan. Pengakuan dan penghormatan ini juga bermanfaat bagi banyak tempat yang tidak terjangkau oleh pengadilan negara.
Suku Dayak Ngaju mempunyai adat istiadat dan kebudayaan yang dijunjung tinggi serta patut dipatuhi dan dilaksanakan oleh masing-masing orang. Seperti falsafah yang sekarang dipakai oleh masyarakat Kalimantan Tengah yakni budaya hidup Rumah Betang dimana suku Dayak Ngaju adalah sebuah suku yang mempunyai suatu kehidupan tradisional dimana dalam menjalani kehidupan sangat menjaga hubungan silaturahmi antara keluarga yang masih ada hubungan darah ataupun bukan.  Sesuai dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia  tahun 1945, yang diambil dari pasal 18 B dan ayat 1 sampai 2 yang berbunyi sebagai berikut : (1)Negara mengakui dan menghormati satu-kesatuan pemerintahan daerah yang bersifat istimewa yang diatur dengan Undang-Undang . (2) Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum Adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kasatuan Republik Indonesia yang diatur dalam Undang-undang .
Kebudayaan adalah seluruh yang kompleks yang didalamnya terkandung ilmu pengetahuan yang kepercayaan, kesenian, moral, hukum adat-istiadat dan kemampuan yang lain serta kebiasaan yang didapat oleh manusia sebagai anggota masyarakat (Suriasumantri, 2002 : 261).
     Adat istiadat suku Dayak adalah seperangkat nilai norma yang mengandung moral, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh berkembang bersamaan dengan pertumbuhan, perkembangan masyarakat Adat Dayak serta nilai norma yang masih ditaati, dihayati dan dipelihara masyarakat terwujud dalam berbagai pola nilai prilaku kehidupan sosial masyarakatnya. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Tengah No.16 Tahun 2008, Tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah, Pasal 1 Ayat 16 menyatakan : 
 “Kebiasaan–kebiasaan  dalam masyarakat adalah pola-pola kegiatan atau perbuatan yang dilakukan oleh para warga masyarakat secara berulang-ulang dan dianggap baik, yang pada dasarnya dapat bersumber pada adat istiadat setempat dan masih berlaku dalam kehidupan masyarakat tersebut”.

Kemudian pada Pasal 1 ayat 18 menyatakan

“Kelembagaan Adat adalah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah berkembang bersamaan dengan sejarah”.

Masyarakat Adat Dayak dengan wilayah Hukum Adatnya berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus serta menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang terjadi di wilayahnya mengacu kepada adat-istiadat,kebiasaan kebiasaan dan Hukum Adat Dayak yang diatur oleh Damang kepala Adat.
Istilah Damang sesuai sebutan daerah masing-masing adalah sama yang dikenal secara umum oleh masyarakat Dayak Kalimantan Tengah dengan istilah Damang. Kata arkais ini kembali menguat manakala para pengkaji tentang Dayak baik dari dalam maupun dari luar Dayak kembali merekontruksi jejak-jejak kearifan lokal suku ini. Bagi masyarakat Dayak, Damang merupakan “penguasa kebudayaan” ketika ruang hidup budaya (cultural sphere) budaya Dayak masih belum terkontaminasi oleh budaya luar, artinya budaya Dayak masih asli budaya yang diwariskan oleh leluhurnya. Damang merupakan “penguasa” yang bukan penguasa. Artinya, meskipun secara legal  formal bukan sebagai pemangku jabatan publik, Demang menjadi sosok penguasa komunitarian dan sangat diperhitungkan pada masa-masa keemasan menaungi masyarakat Dayak.
Konon, pada masa lalu, sebagai pengambilan kebijakan kolektif  (pengambilan keputusan berdasarkan pakat Adat/sidang Adat yang beranggotakan para kepala kampung), merupakan manifestasi dari sebuah kekuasaan komunitarian atas sebuah ideologi. Ideologi Dayak yang mengedepankan asas musyawarah untuk mencapai mufakat, dan ternyata setali tiga uang dengan sila keempat Pancasila yang kita kenal lewat pendidikan moral di sekolah-sekolah. Sebagai puncak dari kekuasaan komunitarian itu, Damang tidak saja memegang otoritas atas ‘kekuasaan kolektif’ namun lebih sebagai pemegang otoritas kebudayaan dan seorang penjaga perdamaian (peace keeper) yang dipandang sebagai pembawa pesan-pesan keadilan dalam tatanan peri kehidupan sosial-kultural masyarakat Dayak.
Dalam memutuskan suatu masalah yang ada dalam komunitas adatnya seorang Damang mempunyai kewenangan yang sudah diatur dalam peraturan pemerintah daerah No 16 tahun 2008. Salah satu masalah yang terjadi di desa Tewah Kecamatan Tewah Kabupaten Gunung Mas adalah masalah hamil diluar nikah. Fenomena ini sangat menarik untuk diteliti sehingga peneliti tertarik melakukan sebuah penelitian yang berjudul ”KEWENANGAN DAMANG KEPALA ADAT DALAM MENYELESAIKAN KASUS HAMIL DILUAR NIKAH DI KECAMATAN TEWAH KABUPATEN GUNUNG MAS”.

B.       Identifikasi dan Rumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Menurut peraturan daerah No.16 tahun 2008 tentang kelembagaan adat dayak kalimantan tengah  pasal 1 ayat 24 Damang Kepala Adat adalah pimpinan Adat dan Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat Kecamatan yang berwenang menegakkan hukum Adat Dayak dalam suatu wilayah Adat yang pengangkatannya berdasarkan hasil pemilihan oleh para kepala desa/kelurahan, para ketua Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, para Mantir Adat Kecamatan, para Ketua Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah Kedamangan tersebut. Bertugas untuk menyelesaikan konflik di desa daerah Adat yang dipimpinya dibantu oleh mantir Adat dan Let Kerapatan Adat setempat.

2.    Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian diatas, maka yang menjadi permasalahan yakni :
a.         Bagaimanakah kewenangan Damang kepala adat dalam menyelesaikan kasus hamil diluar nikah?
b.         Bagaimanakah sanksi hukum adat  terhadap masalah hamil diluar nikah?

C.      Tujuan Dan Manfaat Penilitian
a.    Tujuan Penilitian
Sebagaimana biasanya,bahwa suatu penelitian ada tujuan yaitu sasaran yang ingin dicapai dalam penilitian tersebut. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu :
a.         Ingin mengetahui kewenangan Damang Kepala Adat dalam menyelesaikan kasus hamil diluar nikah.
b.         Ingin mengetahui penerapan sanksi hukum adat terhadap kasus-kasus hamil diluar nikah.

b.   Manfaat Penelitian
Setiap penelitian yang membutuhkan waktu yang cukup lama, biaya, dan tenaga sudah tentu mendambakan hasil yang bermanfaat. Maka dari itu manfaat penilitian ini adalah :
a.         Mengembangkan ilmu pengetahuan tentang Kewenangan Damang Kepala Adat dalam menyelesaikan kasus hamil diluar nikah.
b.         Memberikan sumbangan pengetahuan dan informasi bagi ilmu pengetahuan lainnya yang ada kaitannya dengan Kewenangan Damang Kepala Adat dalam menyelesaikan kasus hamil diluar nikah.
c.         Menambah konsep baru yang dapat dijadikan bahan rujukan bagi pengembangan Hukum Adat di Kalimantan Tengah.
d.        Bagi Sekolah Tinggi Agama Hindu Negeri Tampung Penyang Palangka Raya, khususnya Jurusan Hukum Agama Hindu, agar dapat dijadikan salah satu kajian untuk menambah data dan literatur yang berhubungan dengan Jurusan Hukum Agama Hindu.

D.      Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup penelitian merupakan cakupan bahasan yang akan memberikan gambaran terhadap masalah yang dibahas sehingga apa yang dipaparkan menjadi terarah dan mudah dipahami.
Ruang lingkup penelitian ini bertujuan untuk menhindari kesalah pahaman terhadap pembahasan sehingga tidak terjadi kesimpang siuran pada materi yang dibahas. Ruang lingkup penelitian ini adalah berkisar pada kewenangan Damang Kepala Adat dalam menyelesaikan kasus hamil diluar nikah di Kecamatan Tewah Kabupaten Gunung Mas.

E.       Anggapan Dasar dan Hipotesis
a.    Anggapan Dasar
Anggapan dasar adalah sebuah titik tolak pemikiran yang kebenarannya di terima oleh penyidik, setiap penyidik bisa merumuskan anggapan yang berbeda. Berdasarkan pendapat diatas, maka anggapan dasarnya yaitu :
a.       Hamil diluar nikah menyebabkan hancurnya suatu hubungan dalam keluarga, dilingkungan masyarakat dan masa depan diri sendiri.
b.      Hukum adat merupakan hukum yang sebagian besar tidak tertulis, untuk mengatur pola kehidupan bermasyarakat dan berkembang sesuai dengan aturan dan tradisi setempat serta dipatuhi dan ditaati oleh masyarakat adat, jika dilanggar maka dikenakan sanksi hukum.  (Arikoento 1989 : 58 )

b.   Hipotesis
Hipotesis adalah suatu jawaban yang bersifat sementara terhadap permasalahan yang diteliti sampai terbukti kebenarannya melalui data yang terkumpul, dengan marujuk pendapat diatas, maka yang menjadi hipotesisnya yaitu :
a.         Diduga terjadi hamil diluar nikah diakibatkan pergaulan bebas dan kurangnya pengawasan orang tua.. 
b.         Diduga kurang tegasnya peneggakkan sanksi hukum adat terhadap si pelanggar, terutama pada kasus hamil diluar nikah serta kurangnya sosialisasi atas penegakan dan pelaksanaan hukum adat mengakibatkan masih kurangnya kesadaran masyarakat untuk mentaati hukum adat. (Arikoento 1989 : 64)


BAB II
LANDASAN TEORITIS

A.      Pengertian Kewenangan
Kata “Kewenangan” menurut Kamus besar bahasa Indonesia adalah adalah berasal dari kata “wenang” yang berarti mempunyai hak dan kekuasaan untuk melakukan sesuatu (Sugono, dkk, 2008:1813).
Kata dasar “wenang” mendapat awalan “Ke-“ dan akhiran “-An” sehingga menjadi “kewenangan” yang berarti hak atau kekuasaan yang dipunyai untuk melakukan sesuatu. (Sugono, dkk, 2008:1813).
Jadi kewenangan dalam penelitian ini adalah tentang bagaimana seorang kepala adat dalam menyelesaikan atau menerapkan sanksi-sanksi atas tindakan/kasus-kasus hamil di luar nikah.

B.       Pengertian Damang Kepala Adat
Damang Kepala Adat adalah pimpinan Adat dan Ketua Kerapatan Mantir Perdamaian Adat tingkat kecamatan yang berwenang menegakkan hukum Adat Dayak dalam suatu wilayah Adat yang pengangkatannya berdasarkan hasil pemilihan oleh para kepala desa/kelurahan, para ketua Badan Permusyawaratan Desa, Lembaga Kemasyarakatan Kelurahan, para Mantir Adat Kecamatan , para Ketua Kerapatan Mantir Adat Perdamaian desa/kelurahan yang termasuk dalam wilayah kedamangan tersebut. (Perda Kalimantan Tengah No 16 tahun 2008)
Damang Kepala Adat berkedudukan di ibu kota Kecamatan sebagai mitra Camat dan mitra Dewan Adat Dayak kecamatan, bertugas dalam bidang pelestarian, pengembangan dan pemberdayaan, adat istiadat, kebiasaan-kebiasaan dan berfungsi sebagai penegak Hukum Adat Dayak dalam wilayah Kedamangan bersangkutan.

C.    Pengertian Hamil Diluar Nikah
Hamil diluar nikah adalah salah satu perilaku menyimpang yang dilakukun oleh anggota masyarakat yang akan mengakibatkan suatu aib dalam masyarakat dan keluarga. Untuk lebih lanjut akan dijelaskan apa itu pengertian dari hamil diluar nikah.
”Hamil” di dalam kamus bahasa Indonesia) mempunyai arti mengandung janin dalam rahim wanita hasil dari pembuahan pada spermatozora pada sel telur (Sugono, 2008:519).
Sedangkan ”nikah” dalam kamus bahasa Indonesia  berarti perjanjian antara laki-laki dan perempuan untuk bersuami isteri dengan resmi (Sugono, 2008:1075).
Jadi yang dimaksud dengan hamil diluar nikah adalah mengandung janin tanpa adanya perjanjian antara laki-laki dan perempuan yang diikrarkan dalam sebuah perkawinan.




D.     Hukum Adat Sebagai Suatu Sumber Dalam Penyelesaian Suatu Kasus
1.    Pengertian Hukum Adat
Di Indonesia Hukum Adat diartikan sebagai hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur Agama. Hukum menurut arti kata pada Kamus Bahasa Indonesi adalah : “peraturan yang dibuat oleh suatu kekuasaan atau Adat yang dianggap berlaku oleh dan untuk orang banyak”, (Poerwadarminta, 1984 : 364).
Beberapa pendapat ahli tentang definisi hukum antara lain, menurut Djasadin Saragih, hukum adalah :
”Hukum adalah keseluruhan tingkah laku orang-orang yang hidup diikatan kemasyarakatan yang harus ditaati dimana aturan itu bertujuan untuk mengatur serta melindungi kepentingan sesama manusia didalam lalu lintas pergaulan sehari-hari”. (Saragih, 1973 : 39)

Lili Rasjidi menyatakan bahwa hukum adalah :
”Suatu hubungan diantara seseorang dengan suatu perbuatan (suatu tidak-melakukan) dari seorang yang lain, yang membuat orang ini menghubungkan dirinya dengan perbuatan ini (tidak-melakukan ini) sebagai dengan sesuatu yang menjadi kepunyaan, agar ia dengan cara yang sama seperti orang-orang lain, dapat mencapai tujuannya”. (Rasdiji, 1984 :103).

Hal ini juga diperkuat oleh teori dari Yudowidagdo, yang menyatakan sebagai berikut :
”Hukum adalah sumber dari segala sumber peraturan yang semestinya harus ditaati oleh semua orang didalam suatu masyarakat, dengan ancaman akan mendapat celaan, atau mendapat hukuman bagi pelaku pelanggaran dan kejahatan sehingga akan membuat tentram, adil dan makmur dibawah naungan tata tertib hukum”. (Yudowidagdo, 1987.3)

Hukum merupakan peraturan yang bersifat memaksa dan menentukan tingkah laku manusia dalam lingkungan masyarakat yang dibuat oleh badan resmi yang mempunyai kewenangan dan kekuasaan, sehingga pelanggaran terhadap peraturan-peraturan yang terjadi dapat diambil tindakan yaitu dengan hukuman/sanksi tertentu.
Dalam kehidupan ada bermacam-macam peraturan kelakuan, ada bermacam-macam norma seperti Agama, kesusilaan, kesopanan dan norma hukum, maka tidak mustahil kalau aturan-aturan tersebut dilanggar oleh manusia. Dan untuk mengatur terhadap pelanggaran tersebut, agar setiap manusia yang hidup bermasyarakat mempunyai tingkah laku yang baik, maka tentu harus ada hukum yang mengaturnya, aturan inilah yang disebut Hukum.
Jadi pengertian Hukum adalah segala aturan yang memperbolehkan berbuat sesuatu atau tidak boleh berbuat sesuatu yang telah ditetapkan oleh atau telah disepakati oleh orang banyak disuatu kelompok masyarakat, dan jika dilanggar akan berakibat hukum berupa hukuman.
”Hukum Adat” seringkali dicampur aduk dalam memberikan suatu pengertian padahal sesungguhnya keduanya adalah dua lembaga yang berlainan.
Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal dan ketinggalan jaman. Hal ini dapat dimaklumi karena ”adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di masyarakat kecuali menyangkut soal dosa Adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dan lain-lain.
Dalam hal ini juga ada beberapa pendapat dari para ahli tentang depinisi Hukum Adat yaitu antara lain
Menurut Prof. Dr.Hr Soemadiningrat Otje Salman, SH
”Adat berasal dari bahasa Arab yang artinya perbuatan yang berulang-ulang kebiasaan yang menurut asumsi masyarakat telah berbentuk dengan baik sebelum maupun sesudah adanya masyarakat. Keberadaan adat bukan bukan di tentukan oleh manusia melainkan oleh tuhan”

Menurut prof. Dr.Supomo, SH dalam lestawi 1999:4 dengan karangan beliau beberapa catatan mengenai hukum Adat memberikan pengertian bahwa;
”Mengenai hukum yang tidak tertulis dalam peraturan-peraturan legislatif unstaturari lau meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak di tetapkan oleh yang tak berkewajiban tetapi di taati oleh masyarakat berdasarkan keyakinan bahwa peraturan itu mempunyai kekuatan hukum”.
              
Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Jadi jika ada seseorang tidak mentaati keputusan yang telah diputuskan oleh Damang Kepala Adat bisa mendapatkan celaan, cemohan dan dikucilkan oleh masyarakat, dan yang paling berat adalah bisa diusir dari desa tersebut.
Adat istiadat adalah seperangkat nilai dan norma, kaidah dan keyakinan sosial yang tumbuh dan berkembang bersamaan dengan pertumpumbuhan dan perkembangan masyarakat adat dayak serta nilai atau norma lain yang masih dihayati dan dipelihara masyarakat sebagainmana terwujud dalam berbagai pola nilai perilaku kehidupan sosial masyarakat setempat.


2.    Pengertian Lembaga Adat
Lembaga adat adalah sebuah organisasi kemasyarakatan, baik yang sengaja dibentuk maupun yang secara wajar telah tumbuh dan berkembang di dalam sejarah masyarakat yang bersangkutan atau dalam suatu masyarakat hukum adat tertentu dengan wilayah hukum dan hak atas harta kekayaan di dalam wilayah hukum adat tersebut, serta berhak dan berwenang untuk mengatur, mengurus dan menyelesaikan berbagai permasalahan kehidupan yang berkaitan dengan dan mengacu pada adat istiadat dan hukum adat yang berlaku. Sebagaimana telah diketahui bahwa keberadaan lembaga yang bersifat sosial keagamaan dan sosial kemasyarakatan umum dan khususnya peranannya cukup besar dan sangat menonjol, terlebih lagi yang dapat diberikan kepada nusa dan bangsa yang sedang membangun.

3.    Kedudukan Hukum Adat
Kedudukan hukum adat adalah sebagai berikut :
-       Hukum adat adalah cita hukum (meta norma dasar) dari hukum dasar kita.
-       Hukum adat menjiwai seluruh hukum yang ada dalam tata hukum Indonesia, sekaligus merupakan sumber norma dan batu penguji bagi hukum-hukum tersebut.
-       Hukum Adat memiliki kedudukan yang kuat dan sentral dalam Tata Hukum Indonesia karena berfungsi sebagai landasan serta sebagai sumber norma dalam pembentukan dan pengembanan segala hukum posiitif di Indonesia, dimana hukum adat dimaknai sebagai asas, sehingga mempunyai nilai universal dan dapat berlaku secara nasional.
-       Hukum Adat adalah raw materials Hukum Nasional.

4.    Kedudukan Damang Kepala Adat
Damang Kepala Adat adalah pimpinan adat, kedudukannya sebagai mitra Camat dalam bidang pemberdayaan, pelestarian, pembangunaan adat istiadat kebiasan-kebiasaan masyarakat dan lembaga adat serta hukum adat diwilayahnya.
Jabatan Damang Kepala Adat, yang pada tahun 1928 dilahirkan sebagai jabatan tebusan, untuk menggantikan jabatan kepala-kepala Adat masa lalu, oleh suku Dayak diterima dengan baik, sebagai pemulihan dan pengakuan kembali atas adat istiadat leluhur dipelihara dengan baik oleh pemerintah dengan menetapkan jabatan-jabatan Damang Kepala Adat, khususnya dimuka kabupaten yang ada diseluruh Kalimantan Tengah (Karangan Cilik Riwut,Buku Maneser Panatau Tatu Hiang Hal.109).








BAB III
METODOLOGI PENELITIAN


A.      Metode Penelitian
Metode penelitian adalah cara melakukan suatu dengan menggunakan pikiran-pikiran secara seksama untuk mencapai tujuan (Cholied, 2003 : 2). Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif kualitatif. Karena penelitian ini bermaksud menggambarkan secara sistematis fakta dan karakteristik individu atau subjek yang diteliti secara tepat. Dan dalam penelitian ini peneliti juga akan mengumpulkan data untuk menginten pertanyaan peneliti atau hipotesis yang berkaitan dengan kejadian yang terjadi sekarang.
Sejalan dengan pendapat Surahcmad tentang ciri-ciri metode deskriptif yaitu :
a.         Memusatkan diri pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang, dan masalah aktual.
b.         Data yang dikumpulkan mula-mula disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa. (Surachmad,  1982 : 41)
Adapun dasar peneliti menggunakan metode deskriptif kualitatif dalam penelitian ini yaitu :
a.         Metode deskriptif berguna untuk mendapatkan variasi permasalahan yang berkaitan dengan tingkah laku responden dan keadaan di lapangan.
b.         Bentuknya yang sangat sederhana dan mudah dipahami serta tanpa memerlukan tehnik statistik yang kompleks.
c.         Penelitian deskriptif ini, peneliti memungkinkan untuk menjawab pertanyaan peneliti yang berkaitan dengan hubungan antar variabel, yaitu Kewenangan Damang Kepala Adat Dalam Menyelesaikan Kasus Hamil Diluar Nikah.

B.       Populasi Dan Sampel
1.    Populasi
Populasi adalah seluruh individu yang digunakan sebagai objek penelitian sejalan dengan pendapat yang menyatakan bahwa ; populasi adalah merupakan keseluruhan kelompok golongan populasi juga dapat berbentuk benda, elemen atau manusia yang dapat dijadikan objek penelitian   (Supranto, 1991 :17 )
Populasi dalam penelitian ini adalah masyarakat dan tokoh adat yang akan memberikan informasi-informasi tersebut
2.    Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi penelitian yang dianggap mampu mewakili sifat-sifat populasi atau dengan istilah sampel adalah objek penelitian. Sejalan dengan pendapat bahwa : sampel adalah bagian dari individu yang akan diselidiki ( Hadi, 1982 : 257 ).
Mengingat terbatasnya populasi serta masalah yang akan diteliti, maka sebagai sampel penulis tetapakan seluruh populasinya.

C.      Tehnik Pengumpulan Data
1.      Observasi
            Observasi digunakan peneliti untuk mengumpulkan data yang akurat, valid dan kredibel peneliti secara langsung mengobservasi dan melihat ke lokasi dan menggali data dari responden di desa Tewah Kecamatan Tewah Kabupaten Gunung Mas. Observasi dilakukan untuk memperoleh informasi baik tindakan manusia dalam realitas kehidupan. Metode ini merupakan metode pengumpulan data dengan peneliti terlibat langsung ke lapangan mengamati secara sengaja, sistematis mengenai fenomena sosial keagamaan dengan gejala-gejala psikis untuk kemudian dilakukan pencatatan. (Subagyo, 2003 : 62-63).
2.      Metode Wawancara
Salah satu sumber informasi yang penting dalam penelitian adalah wawancara. Wawancara yang dilakukan adalah wawancara mendalam yaitu dengan mewawancarai informan untuk mendapatkan data yang lengkap segala tindakan, dan keputusan yang diambil oleh Damang kepala Adat dalam kasus hamil diluar nikah . Untuk mendapatkan jawaban yang lengkap dan komprehensif dari informan terhadap semua fenomena yang ada, peneliti menggunakan wawancara tak berstruktur yaitu tidak menggunakan pedoman pernyataan, namun secara mendalam dan terperinci dari semua aspek tentang Kewenangan Damang kepala Adat dalam menyelesaikan kasus hamil diluar nikah.
Untuk mendapatkan informasi yang relatif lebih bersifat objektif maka wawancara dilakukan terhadap setiap responden (Subagyo,2003 : 39). Dalam interview ini dilakukan terhadap tokoh-tokoh masyarakat dan Damang Kepala Adat di desa Tewah Kabupaten Gunung Mas. .
3.      Dokumentasi
Teknik ini sebagai pendukung utama agar penelitian yang dilakukan mendapat hasil yang optimal sesuai dengan kenyataan yang ada. Pengambilan dokumentasi yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan camera (Tustel) untuk merekam hal-hal yang berkaitan dengan fenomena yang sedang diteliti. Selain itu dokumentasi juga berfungsi sebagai alat untuk mengingatkan peneliti dalam menganalisis dan menginterprestasikan tindakan dan sarana yang diperlukan yang syarat dengan simbol. Selain itu juga memperjelas pengertian bagi orang lain yang tidak pernah melihat dan mengetahui Kewenangan Damang kepala Adat Dalam Menyelesaikan Kasus Hamil Diluar Nikah di Kecamatan Tewah Kabupaten Gunung Mas.
4.        Teknik Analisa Data
Analisis data adalah merupakan bagian dalam proses penelitian yang penting, karena dengan analisis data yang ada akan nampak manfaatnya dan ada gunanya terutama dalam memecahkan masalah penelitian dan mencapai tujuan penelitian. Dalam analisis diperlukan imajinasi dan kreativitas sehingga di uji kemampuan peneliti dalam menalar sesuatu. (Subagyo, 2004 : 106) . 
Metode pengolahan/ analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis kualitatif. Analisis kualitatif dilakukan terhadap data baik berupa kualitatif maupun kuantitatif, terhadap data kualitatif dalam hal ini dilakukan terhadap data yang berupa informasi, uraian dalam bentuk bahasa prosa kemudian dikaitkan dengan data lainnya untuk mendapat kejelasan terhadap suatu kebenaran atau sebaliknya, sehingga memperoleh gambaran yang sudah ada dan sebaliknya. Jadi bentuk analisis ini dilakukan merupakan penjelasan-penjelasan dan keterangan-keterangan.
Analisis data kualitatif adalah upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus. Analisis data kualitatif dilakukan melalui 4 (empat) langkah, yaitu :
Pengumpulan data, reduksi, penyajian data dan verifikasi untuk menarik kesimpulan. Menganalisis data dengan proses mengatur urutan data mengorganisasikan dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar, selain itu juga mengadakan suatu interprestasi dan penafsiran terhadap proses analisis, menjelaskan pola atau kategori, mencari hubungan diantara unsur satu dengan lainnya dan kemudian merumuskan konstruksinya. Semua data yang dianalisis  sejak observasi dan wawancara mendalam, dideskripsikan, diklasifikasikan, dianalisis dan diinterprestasikan sesuai dengan masalah tema dan sub tema yang diangkat.
Adapun teknik atau aturan-aturan yang dipergunakan untuk mengadakan analisa terhadap data yang telah terkumpul adalah dengan cara sebagai berikut :
1.         Teknik induksi yaitu suatu teknik untuk memperoleh  kesimpulan dengan terlebih dahulu untuk mengemukakan fakta-fakta yang berlaku khusus atas dasar ini peneliti menarik kesimpulan.
2.         Teknik argumentasi yaitu suatu teknik untuk memperoleh suatu kesimpulan dengan memberikan komentar-komentar pada saat menarik kesimpulan.
3.         Teknik spekulasi yaitu semata-mata peneliti menggunakan ketajaman ratio atau akal pada setiap menarik kesimpulan. (Netra 1974 :82).
Teknik analisis data kualitatif di atas, maka diharapkan Skripsi yang berjudul “Kewenangan Damang Kepala Adat Dalam Menyelesaikan Kasus Hamil Diluar Nikah” bisa selesai secara efektif dan efisien.  
















DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktis. Jakarta : Bina Angkasa. 1996.

Budiono. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya : Karya Agung. 2005.

Netra, Ida Bagus. Metode Penelitian. Singaraja : Biro Penerbit dan Penelitian Fip UNUD. 1974.

Perda No 16 Tahun 2008. Tentang Kelembagaan Adat Dayak Kalimantan Tengah.

Poerwadarminta,W.J.S. Kamus Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka. 1984.

Riwut, Nila. Maneser Panatau Tatu Hiang, Pustaka lama. Palangka Raya. 2003.
Saragih, Djasadin. Suatu Pengantar Azas-Azas Hukum Perdata, Bandung : Alumni. 1973.

Subagyo, P. Joko. Metode Penelitian dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta. 2004.

Sugono, Deny, dkk. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, DEPDIKBUD. 2008.

Suprayogo, Imam dan Tobroni. Metodologi Penelitian Sosial Agama. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. 2001.

Surakhmad, Sujono. Metode Penelitian Suatu Pemikiran dan Penerapan. Bandung : Tarsito. 2005

       Suriasumantri, Jujun S. Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta Pustaka Sinar Harapan. 2002.