MAKALAH MORAL DAN HUKUM POSITIF
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pengertian
Moral
Dalam Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan, moral adalah:
1.
(ajaran tt) baik buruk yg diterima umum
mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak; budi pekerti; susila: --
mereka sudah bejat, mereka hanya minum-minum dan mabuk-mabuk, bermain judi, dan
bermain perempuan;
2.
kondisi mental yg membuat orang tetap berani,
bersemangat, bergairah, berdisiplin, dsb; isi hati atau keadaan perasaan
sebagaimana terungkap dl perbuatan: tentara kita memiliki dan daya tempur yg
tinggi;
3.
ajaran kesusilaan yg dapat ditarik dr suatu
cerita; Menurut Bertens, moral berawal dari bahasa latin mos, jamaknya mores
yang juga berarti adat kebiasaan. Secara etimologis, kata etika sama dengan
kata moral, keduanya berarti adat kebiasaa. Perbedaannya hanya pada bahasa
asalnya, Etika berasal dari bahasa Yunani, sedangkan moral berasal dari bahasa
latin.
Dalam Wikipedia
dijelaskan, Moral adalah istilah manusia menyebut ke manusia atau orang lainnya
dalam tindakan yang mempunyai nilai positif. Manusia yang tidak memiliki moral
disebut amoral artinya dia tidak bermoral dan tidak memiliki nilai positif di
mata manusia lainnya. Sehingga moral adalah hal mutlak yang harus dimiliki oleh
manusia. Moral secara ekplisit adalah hal-hal yang berhubungan dengan proses
sosialisasi individu tanpa moral manusia tidak bisa melakukan proses
sosialisasi. Moral dalam zaman sekarang mempunyai nilai implisit karena banyak
orang yang mempunyai moral atau sikap amoral itu dari sudut pandang yang
sempit. Moral itu sifat dasar yang diajarkan di sekolah-sekolah dan manusia
harus mempunyai moral jika ia ingin dihormati oleh sesamanya. Moral adalah
nilai ke-absolutan dalam kehidupan bermasyarakat secara utuh. Penilaian
terhadap moral diukur dari kebudayaan masyarakat setempat.Moral adalah
perbuatan/tingkah laku/ucapan seseorang dalam ber interaksi dengan manusia.
apabila yang dilakukan seseorang itu sesuai dengan nilai rasa yang berlaku di
masyarakat tersebut dan dapat diterima serta menyenangkan lingkungan
masyarakatnya, maka orang itu dinilai mempunyai moral yang baik, begitu juga
sebaliknya.Moral adalah produk dari budaya dan Agama.
Antara etika
dan moral memang memiliki kesamaan. Namun, ada pula berbedaannya, yakni etika
lebih banyak bersifat teori, sedangkan moral lebih banyak bersifat praktis.
Menurut pandangan ahli filsafat, etika memandang tingkah laku perbuatan manusia
secara universal (umum), sedangkan moral secara lokal. Moral menyatakan ukuran,
etika menjelaskan ukuran itu.
Namun demikian,
dalam beberapa hal antara etika dan moral memiliki perbedaan. Pertama, kalau
dalam pembicaraan etika, untuk menentukan nilai perbutan manusia baik atau
buruk menggunakan tolak ukur akal pikiran atau rasio, sedangkan dalam pembicaran
moral tolak ukur yang digunakan adalah norma-norma yang tumbuh dan berkembang dan
berlangsung di masyarakat.
Istilah moral
senantiasa mengaku kepada baik buruknya perbuatan manusia sebagai manusia. Inti
pembicaraan tentang moral adalah menyangkut bidang kehidupan manusia dinilai
dari baik buruknya perbutaannya selaku manusia. Norma moral dijadikan sebagai
tolak ukur untuk menetapkan betul salahnya sikap dan tindakan manusia, baik
buruknya sebagai manusia.
Pengertian
Hukum Positif
Hukum positif
merupakan salah satu bagian hukum, ditinjau menurut waktu berlakunya. Menurut
waktu berlakunya, hukum dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu:
1. Ius
constitutum (hukum positif)
2. Ius
contituendum
3. Hukum asasi
Hukum positif
atau bisa dikenal dengan istilah Ius Constitutum, yaitu hukum yang berlaku
sekarang bagi suatu masyarakat tertentu dalam suatu daerah tertentu.
Singkatnya; Hukum yang berlaku bagi suatu masyarakat pada suatu waktu, dalam
suatu tempat tertentu. Ada sarjana yang menamakan hukum positif itu "Tata
Hukum".
Tata hukum
sendiri berasal dari kata bahasa belanda. Dalam bahasa Belanda, "recht
orde" ialah susunan hukum, artinya memberikan tempat yang sebenarnya
kepada hukum. Yang dimaksud "memberikan tempat yang sebenarnya" yaitu
menyusun dengan baik dan tertib aturan-aturan hukum dalam pergaulan hidup. Itu
dilakukan supaya ketentuan yang berlaku, dengan mudah dapat diketahui dan
digunakan untuk menyelesaikan setiap terjadi peristiwa hukum.
B. PERUMUSAN MASALAH
Setelah kita
mengetahui moral dan hukum positif, kita dapat menyimpulkan bahwa kedua hal
tersebut mempunyai hubungan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lainnya.
Yakni, hukum mengatur bagaimana kita berbuat sesuatu, dan moral merupakan
fondasi kita dalam mentaati dan menjalankan hukum.
Namun, dalam
kenyataanya, sebagaimana kita ketahui, Masyarakat baru saja melihat kejadian
hukum yang merusak moralitas sehingga berkembang persepsi bahwa kini sudah
tidak ada lagi keadilan di lembaga penegak hukum. Pertama, putusan hakim
terhadap Minah (55) yang diganjar 1 bulan 15 hari penjara dengan masa percobaan
3 bulan atas dakwaan pencurian 3 buah kakao di perkebunan milik PT Rumpun Sari
Antan (RSA), Banyumas.
Belum hilang
keheranan publik, hukum juga memaksa Basar dan Kolil mendekam dalam LP Kelas A
Kota Kediri karena mencuri sebutir semangka seharga Rp 5.000. Keterkejutan
memuncak ketika hukum melalui PT Banten menuntut Prita Mulyasari mengganti
kerugian material dan immaterial kepada RS Omni Rp 204 juta karena dakwaan
pencemaran nama baik atas pelayanan buruk yang dikeluhkan melalui surat
elektronik.
Kejadian-kejadian
hukum itu pada akhirnya menimbulkan pengaruh sosial yang bermakna bagi
masyarakat, lalu tak kalah penting untuk dipahami, kejadian hukum itu akan meruntuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap pengadilan sebagai sumber keadilan. Mengapa
kejadian ini berdampak pada pengadilan? Seberapa penting pengaruhnya?
bagaimanakah penegakkan hukum positif di Indonesia? Apakah menggunakan moral?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hubungan Moral dan Hukum
Menurut DR.
Haryatmoko, dalam Kompas, 10 Juli 2001 mengatakan, ada lima pola hubungan
moral-hukum yang bisa dibagi dalam dua kerangka pemahaman. Kerangka pemahaman
pertama, moral sebagai bentuk yang mempengaruhi hukum. Moral tidak lain hanya
bentuk yang memungkinkan hukum mempunyai ciri universalitas. Sebagai bentuk,
moral belum mempunyai isi. Sebagai gagasan masih menantikan pewujudan.
Pewujudan itu adalah rumusan hukum positif.
Pola hubungan
moral-hukum itu yaitu: Pertama, moral dimengerti sebagai yang menghubungkan
hukum dengan ideal kehidupan sosial-politik, keadilan sosial. Upaya-upaya nyata
dilakukan untuk mencapai ideal itu, tetapi sesempurna apa pun usaha itu tidak
akan pernah bisa menyamai ideal itu. Bagi penganut paham hukum kodrat, ini
merupakan pola hubungan hukum kodrat dan hukum positif.
Kedua, hanya
perjalanan sejarah nyata, antara lain hukum positif yang berlaku, sanggup memberi
bentuk moral dan eksistensi kolektif. Pewujudan cita-cita moral tidak hanya
dipahami sebagai cakrawala yang tidak mempunyai eksistensi (kecuali dalam
bentuk gagasan). Dalam pola kedua ini, pewujudan moral tidak hanya melalui
tindakan moral, tetapi dalam perjuangan di tengah-tengah pertarungan kekuatan
dan kekuasaan, tempat di mana dibangun realitas moral (partai politik,
birokrasi, hukum, institusi-institusi, pembagian sumber-sumber ekonomi).
Pola ketiga
adalah voluntarisme moral. Di satu pihak, hanya dalam kehidupan nyata moral
bisa memiliki makna; di lain pihak, moral dimengerti juga sebagai sesuatu yang
transenden yang tidak dapat direduksi ke dalam hukum dan politik. Satu-satunya
cara untuk menjamin kesinambungan antara moral dan hukum atau kehidupan konkret
adalah menerapkan pemahaman kehendak sebagai kehendak murni. Implikasinya akan
ditatapkan pada dua pilihan yang berbeda: Di satu pihak, pilihan reformasi yang
terus-menerus. Pilihan ini merupakan keprihatinan agar moral bisa diterapkan
dalam kehidupan nyata, tetapi sekaligus sangsi akan keberhasilannya. Maka yang
bisa dilakukan adalah melakukan reformasi terus-menerus. Di lain pihak, pilihan
berupa revolusi puritan. Dalam revolusi puritan, misalnya Taliban di
Afganistan, ada kehendak moral yang yakin bahwa penerapan tuntutan moral itu
bisa dilakukan dengan memaksakannya kepada semua anggota masyarakat.
Kecenderungannya ialah menggunakan metode otoriter. Kerangka pemahaman kedua
menempatkan moral sebagai sesuatu yang di luar politik dan tidak dapat
direduksi menjadi politik. Moral dilihat sebagai suatu bentuk kekuatan yang
tidak dapat dihubungkan langsung dengan sejarah atau politik kecuali dengan
melihat perbedaannya. Dalam kelompok ini ada dua pola hubungan antara moral dan
hukum.
Dalam pola
keempat, moral tampak sebagai di luar politik. Dimensi moral menjadi semacam
penilaian yang diungkapkan dari luar, sebagai ungkapan dari suatu kewibawaan
tertentu. Tetapi, kewibawaan ini bukan merupakan kekuatan yang efektif, karena
tidak memiliki organ atau jalur langsung untuk menentukan hukum. Pola hubungan
ini mirip dengan posisi kenabian. Nabi dimengerti sebagai orang yang mengetahui
apa yang akan terjadi dan apa yang sedang berlangsung, tetapi tidak bisa
berbuat apa-apa karena ada di luar permainan politik. Tetapi, nabi memiliki
kewibawaan tertentu. Dalam perspektif ini, hubungan antara moral dan hukum atau
politik biasanya bersifat konfliktual. Dalam rezim ini ada pemisahan antara
masalah agama dan masalah politik.
Dalam pola
kelima, politik dikaitkan dengan campur tangan suatu kekuatan dalam sejarah.
Kekuatan ini adalah tindakan kolektif yang berhasil melandaskan diri pada mesin
institusional. Moral dianggap sebagai salah satu dimensi sejarah, sebagai etika
konkret bukan hanya bentuk dari tindakan. Dengan demikian moral berbagi lahan
dengan politik. Di satu pihak, moral hanya bisa dipahami melalui praktik
politik. Melalui politik itu moral menjadi efektif: melalui hukum,
lembaga-lembaga negara, upaya-upaya dalam masalah kesejahteraan umum. Tetapi,
moral tetap tidak bisa direduksi ke dalam politik. Di lain pihak, politik
mengakali moral. Sampai pada titik tertentu, politik (dalam arti ambil bagian
dalam permainan kekuatan) hanya mempermainkan moral karena politik hanya
menggunakan moral untuk mendapatkan legitimasi dari masyarakat.
B. Mengawal
Penegakan Hukum Dengan Moral
Predikat negara
hukum menggambarkan bahwa segala sesuatu harus berjalan menurut aturan yang
jelas; masyarakat yang merupakan warga negara hidup dalam ketertiban,
ketenangan, keamanan dan keadilan. Hukum dibuat sebagai salah satu sarana untuk
menciptakan kondisi demikian. Sebagai sebuah sarana, dia lebih berjalan pada
proses. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka proses harus berjalan secara
maksimal pula. H.L.A. Hart (1965) mengatakan bahwa untuk menciptakan keadilan,
hukum harus meliputi tiga unsur nilai, yakni kewajiban, moral dan aturan.
Karenanya hukum tidak dapat dipisahkan dari dimensi moral (Murphy &
Coelman, 1984: The Philosophy of Law). Jadi apabila ingin menciptakan keadilan
dalam masyarakat maka unsur moral harus dipenuhi. Belum terciptanya rasa
keadilan atau dengan kata lain gagalnya penegakan hukum dalam masyarakat kita
sampai saat ini karena belum adanya "pengawalan" moral dari aparat
penegaknya.
1. Hukum Sebagai Jaring Terluar
Kehidupan
sosial masyarakat tidak akan pernah terlepas dari relasi satu sama lain. Di
sinilah sistem hukum bekerja. Sistem hukum, bertanggung jawab menjamin
dihormatinya hak dan dipenuhinya kewajiban yang timbul dalam kehidupan sosial.
Dalam hal ini masyarakat "minimal" menjalankan apa yang diperintahkan
oleh hukum dan meninggalkan larangan-larangan hukum. Inilah yang penulis maksud
dari hukum sebagai jaring terluar. Sebenarnya, kalau kita dapat memenuhi
standar minimal ini saja, keadilan sudah bisa tercipta. Namun yang terjadi
tidak demikian. Jaring terluar ini sering dilanggar dengan melakukan
tindakan-tindakan yang melanggar hukum, yang menimbulkan "kekacauan"
dalam sistem sosial yang ada. Lebih parah lagi, para pelanggar hukum sering
berlindung dibalik teks-teks hukum dengan "mengutak-atik" dan mencari
celah dalam aturan hukum.
Dinamika yang
terjadi dalam proses pencarian keadilan pada pranata hukum kita telah
berkembang menjadi begitu kompleks. Keadilan menjadi sesuatu yang langka dan
sulit ditemukan. Kalaulah ada, harus dibeli dengan harga yang cukup mahal. Maka
tidak heran yang dapat menikmati keadilan di negara hukum ini hanyalah
segelintir orang, yaitu orang-orang yang mempunyai cukup uang untuk membelinya.
2. Keadilan Formal Hukum
Hukum sebagai
perangkat untuk menciptakan keadilan hanya berdasarkan fakta yang tampak dan
dapat dibuktikan secara empiris. Adapun hal yang tidak dapat dilihat dan tidak
empiris maka tidak menjadi obyek dan perangkat untuk mengukur keadilan dalam
hukum.
Masalah-masalah
hukum dan keadilan di negara kita hanya sekedar masalah teknis-prosedural untuk
menentukan apakah suatu perbuatan bertentangan atau tidak dengan peraturan
perundang-undangan. Apabila suatu tindakan yang secara empiris dapat dibuktikan
tidak melanggar hukum, maka ia akan dinyatakan tidak melanggar hukum dan
terbebas dari hukuman, meskipun tindakan itu tidak benar, apalagi baik. Dan
sebaliknya, apabila ada seseorang melakukan tindakan yang secara empiris dapat dibuktikan
bahwa tindakan tersebut melanggar hukum maka ia harus dihukum, meskipun tindakan
itu baik dan benar.
Hal ini dapat
dimengerti, karena hukum memang hanya menjadi sarana atau perangkat untuk
mewujudkan keadilan. Sebuah perangkat memang harus jelas dan dapat dinilai
serta berlandaskan fakta empiris. Sebagai konsekuensinya, produk-produk yang
dihasilkan oleh proses hukum adalah sesuatu yang jelas pula. Ukuran kebenaran
yang menjadi landasan hukum sebagai perangkat formal juga hanya berdasarkan
hal-hal yang empiris pula. Jadi keadilan yang dapat diwujudkan oleh hukum
hanyalah keadilan, atau bahkan hanya kebenaran legal formal yang jauh dari
nilai-nilai keadilan.
3. Keadilan Hakiki Berangkat dari Nurani
Keadilan legal formal tidak jarang bertentangan dengan
nilai-nilai keadilan ideal moral yang pada dasarnya "keadilan
tertinggi" yang dikehendaki oleh masyarakat; keadilan yang sesuai dengan
hati nurani. Berdasarkan pemaparan di atas, tampaknya keadilan ini tidak dapat
tercipta hanya mengandalkan sistem kerja perangkat legal formal hukum semata.
Oleh kerena itu unsur moral harus benar-benar diterapkan dalam proses hukum
kita, agar keadilan yang dikehendaki oleh nurani masyarakat benar-benar
terwujud.
Merujuk pada filsuf Yunani, Aristoteles, yang cenderung menggunakan
etika untuk menunjukkan filsafat moral, menjelaskan bahwa fakta moral tentang
nilai dan norma moral, perintah, tindakan kebajikan dan suara hati (Kanter
2001). Moral mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai manusia, menuntun
manusia bagaimana seharusnya ia hidup atau apa yang boleh dan apa yang tidak
boleh dilakukan. Jadi manusia dituntut untuk bertindak berdasarkan pada suara
hati nuraninya.
Berangkat dari pemaparan di atas, para penegak hukum hendaknya
menjalankan fungsinya berdasarkan pada dua hal; pertama, berlandaskan pada
"aturan main" yang telah berlaku. Pada dasarnya apabila ini sudah
terpenuhi setidaknya rasa keadilan dapat terwujud, meskipun mungkin tidak
maksimal, karena peraturan dapat dipelintir dan direkayasa. Kedua, berpegang
teguh pada suara hati nurani. Aturan-aturan hukum yang ada harus dikawal dengan
moral yang bersumber dari hati nurani. Apabila unsur moral ini dapat terpenuhi
maka rasa keadilan yang hakiki akan dapat terwujud dalam kehidupan masyarakat.
Karena hati nurani tidak akan pernah berdusta, apalagi berhianat.
C. Analisis
Contoh Kasus
Pengadilan adalah jantung hukum itu sendiri karena menjadi
laboratorium bedah atas paket perundang-undangan, profesional hukum
melaksanakan fungsi, produk keadilan, dan pertarungan antara moral dan
kepentingan-kepentingan lain.
Untuk itulah berkembang adagium klasik di dunia hukum bahwa
sebaik atau seburuk apapun teks perundang-undangan maka produk keadilan yang
dihasilkan tetap tergantung pada sosok-sosok yang menjalankannya. Di sinilah
pentingnya moralitas hukum yang harus dipegang oleh penguasa pengadilan.
Pernyataan itu dapat dikatakan suatu jawaban atas fenomena
hilangnya keadilan di pengadilan adanya kasus Minah, Basar-Kolil, dan Prita
Mulyasari. Di sisi lain, semuanya merupakan kelompok masyarakat kelas bawah
sehingga menjadi bukti langsung bahwa hukum belum dapat dicerna oleh masyarakat
awam.
Hukum dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia
agar selalu baik, namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan
kepastian hukum. Itulah sebabnya, hukuman terhadap Amir Mahmud, sopir di BNN
hanya karena sebuah pil ekstasi justru dikenai hukuman 4 tahun oleh Pengadilan
Negeri Jakarta Barat, sedangkan jaksa Ester dan Dara yang telah menggelapkan
343 butir ekstasi hanya divonis 1 tahun.
Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan
kebenaran, keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati
nurani manusia. Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena
adil bagi semua orang.
Tanpa moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral
mengutamakan pemahaman dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini
sebagaimana diungkapkan K Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki
arti apa gunanya undang-undang kalau tidak disertai moralitas.
Moral jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam
kesewenangan hukum dan pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan
di pengadilan. Minah, secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran
berupa delik pencurian, namun secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di
tengah lalu lintas hukum modern adalah menekankan pada struktur rasional,
prosedur, dan format.
Jika hal ini ditiadakan, maka akan menegaskan tulisan Harold
Rothwax dalam buku Guilty- The Collapse of the Criminal Justice System bahwa
masyarakat modern tidak lagi mencari keadilan tetapi mencari kemenangan dengan
segala cara. Setidaknya hal demikian dapat terbaca dalam kasus Prita yang
menjadi tersangka pencemaran nama baik Omni International Hospital Alam Sutera
Tangerang. Prita dituduh setelah menulis keluhan pelayanan rumah sakit itu terhadap
dirinya melalui internet.
BAB III
KESIMPULAN
Hukum
dan moral sama-sama berkaitan dengan tingkah laku manusia agar selalu baik,
namun positivisme hukum yang murni justru tidak memberikan kepastian
hukum. Hukum merupakan positivasi nilai moral yang berkaitan dengan kebenaran,
keadilan, kesamaan derajat, kebebasan, tanggung jawab, dan hati nurani manusia.
Hukum sebagai positivasi nilai moral adalah legitimasi karena adil bagi semua
orang.
Tanpa
moral, hukum tidak mengikat secara nalar karena moral mengutamakan pemahaman
dan kesadaran subjek dalam mematuhi hukum. Hal ini sebagaimana diungkapkan K
Bertens bahwa quid leges sine moribus yang memiliki arti apa gunanya
undang-undang kalau tidak disertai moralitas.
Moral
jelas menjadi senjata ampuh yang dapat membungkam kesewenangan hukum dan
pertimbangan kepentingan lain dalam penegakan keadilan di pengadilan. Minah,
secara substansi hukum memang melakukan pelanggaran berupa delik pencurian,
namun secara moral mesti dipahami bahwa keadilan di tengah lalu lintas hukum
modern adalah menekankan pada struktur rasional, prosedur, dan format.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Djamali. 2007. Pengantar Hukum Indonesia. Jakarta; Rajawali Press.
Abdulkadir
Muhammad. 1997. Etika Profesi Hukum. Bandung; Citra Aditya Bakti.
Bertens
K. 1994. Etika. Jakarta; Gramedia Pustaka Utama.
C.
S. T. Kansil. 1986. Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia. Jakarta;
Balai Pustaka.
Friedman. 1994. Teori dan Filsafat Hukum.Susunan I. Terjemahan Muhammad Arifin. Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Friedman. 1994. Teori dan Filsafat Hukum.Susunan I. Terjemahan Muhammad Arifin. Jakarta; Raja Grafindo Persada.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia (KBBI). 2008. Pusat Bahasa Departemen Pendidikan
Nasional Republik Indonesia.
Supriadi.
2006. Etika dan Tanggung Jawab Profesi Hukum di Indonesia. Jakarta; Sinar
Grafika
Tidak ada komentar:
Posting Komentar