BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Wilayah pemukimannya meliputi seluruh pulau Kalimantan, yaitu Kalimantan
Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, dan Kalimantan Selatan. Disamping
itu mereka mendiami Kalimantan Utara yang kini menjadi wilayah federasi
Malaysia dan Kesultanan Brunai Darusalam. Sub suku Dayak yang mendiami daerah
itu adalah Dayak Murut yang mendiami daerah Malaysia Timur, bagian Sabah dan
bagian utara Kalimantan Timur.
Nama Dayak adalah nama bagi penduduk lain yang tidak beragama Islam..
Nama ini terkadang digunakan untuk membedakan suku yang hidup di daerah
pedalaman dengan suku Melayu yang mendiami daerah pesisir. Disamping itu ada
pula orang Dayak yang beragama Islam, namun mereka tetap disebut Melayu,
sehingga nama Dayak sering digunakan untuk membedakan suku asli yang masih
memeluk agama asli (Kaharingan), Protestan dan Katholik, dengan masyarakat yang
memeluk agama Islam.
Suku Dayak termasuk dalam rumpun bangsa Austronesia yang berimigrasi ke
Asia Tenggara antara tahun 2500 SM-1500 SM. Migrasi tersebut dimulai dari
beberapa daerah disekitar Yunnan, yaitu daerah Cina Selatan, sungai Yang Tse
Kiang, Mekhong dan Menan. Mereka menuju Indonesia melalui Malaysia Barat
kemudian menyebar ke Sumatera, Jawa, Bali dan sebagian ke Kalimantan yang
termasuk dalam ras Mongoloid atau mempunyai kecocokan dengan ciri-ciri ras
tersebut.
Migrasi suku Dayak berlangsung dalam kurun waktu yang panjang dan dibedakan menjadi Proto-Melayu (Melayu tua) dan Deutro-Melayu (Melayu muda) untuk menunjukkan gelombang perpindahan mereka. Gelombang pertama berlangsung sekitar tahun 300 SM atau zaman Neolithikum. Gelombang kedua setelah berbudaya logam yang kemudian dikenal dengan suku Dayak.. Dari sekian banyak suku yang ada di Kalimantan, salah satunya adalah sub suku Dayak Kanayatn yang kaya dengan kesenian tradisi, terutama seni musik.
Migrasi suku Dayak berlangsung dalam kurun waktu yang panjang dan dibedakan menjadi Proto-Melayu (Melayu tua) dan Deutro-Melayu (Melayu muda) untuk menunjukkan gelombang perpindahan mereka. Gelombang pertama berlangsung sekitar tahun 300 SM atau zaman Neolithikum. Gelombang kedua setelah berbudaya logam yang kemudian dikenal dengan suku Dayak.. Dari sekian banyak suku yang ada di Kalimantan, salah satunya adalah sub suku Dayak Kanayatn yang kaya dengan kesenian tradisi, terutama seni musik.
Masyarakat Dayak Ngaju memiliki berbagai tatanan kehidupan atau kebiasaan
adat istiadat yang dijalankan. Segala sesuatu yang berkaitan dengan adat
istiadat merupakan wujud ideal dari kebudayaan yang dipegang teguh dalam
kehidupan sehari-hari. Ia merupakan sistem kebudayaan yang di dalamnya terdapat
sistem norma dan sistem hukum yang menjadi pedoman hidup masyarakatnya. Mereka
menganggap sistem budaya yang mereka miliki mempunyai nilai tinggi, berharga,
bermakna, penting untuk dihayati dan dijalankan dalam kehidupan. Masyarakat
Dayak juga memiliki konsep ketuhanan, kearifan mengelola hutan dengan cara
tradisional, dan kesenian sebagai hasil dari penuangan rasa estetis religius.
Semua itu dianggap sebagai warisan berharga yang harus dipertahankan dan
diwariskan kembali kepada generasi berikutnya.
Musik Dayak Ngaju merupakan bagian penting sebuah upacara. Ia tidak hanya
mempunyai peranan dalam kehidupan, tetapi mengandung nilai-nilai religius
masyarakat sesuai dengan adat dan kepercayaan yang dianut masyarakat Dayak Ngaju.
Arti penting musik bukan hanya terbatas pada pemenuhan kepuasan estetis
(hiburan) dan penggambaran budaya, namun dipercaya mempunyai fungsi, simbol,
dan nilai budaya sesuai dengan posisinya sebagai wadah kreativitas dan
intelektualitas masyarakat. Hal ini karena musik mencakup pengertian proses pengintegrasian
unsur-unsur tradisional. Artinya unsur-unsur tradisi dalam kehidupan masyarakat
Dayak Ngaju digambarkan dalam musik yang mereka miliki dan dianggap mengandung
simbol tertentu sebagai refleksi kehidupan yang mereka jalani. Ia merupakan
pengungkapan nilai estetis dan ekspresi emosional sesuai dengan lingkup
budayanya.
B. Rumusan Masalah
Yang jadi permasalahan dalam
makalah ini adalah :
-
Apakah pengertian seni musik ?
-
Apakah peran musik dalam agama
Hindu ?
-
Bagaimanakah Peranan Musik Dayak dalam Kegiatan
Upacara Balian Sebagai Salah Satu upacara Ritual Keagamaan Agama Hindu
Kaharingan?
C. Tujuan Penulisan
Dalam setiap penulisan suatu makalah ataupun
karya tulis lainnya pastilah memiliki suatu tujuan yang hendak dicapai. Maka
dari itu tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui peranan seni
musik pada acara balian sebagai salah satu acara ritual keagamaan bagi umat
Hindu Kaharingan.
D.
Metode Penulisan
Penulisan makalah ini menggunakan metode
kepustakaan yang mana sumber-sumber dari makalah ini didapat dari buku-buku
yang dijadikan referensi yang kemudian dianalisis dan dijadikan data.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Seni Musik
1. Pengertian Seni
Kata "seni"
adalah sebuah kata yang semua orang di pastikan mengenalnya, walaupun dengan
kadar pemahaman yang berbeda. Konon kata seni berasal dari kata
"sani" yang artinya "Jiwa Yang Luhur/ Ketulusan jiwa".
Dalam bahasa Inggris dengan istilah "ART" (artivisial) yang artinya
adalah barang/atau karya dari sebuah kegiatan. Konsep seni terus berkembang
sejalan dengan berkembangnya kebudayaan dan kehidupan masyarakat yang dinamis.
Beberapa pendapat tentang pengertian seni:
a.
Ensiklopedia Indonesia : Seni adalah
penciptaan benda atau segala hal yang karena kendahan bentuknya, orang senang
melihat dan mendengar
b.
Aristoteles : seni adalah kemampuan
membuat sesuatu dalam hubungannya dengan upaya mencapai suatu tujuan yang telah
ditentukan oleh gagasan tertentu,
c.
Ki Hajar Dewantara : seni adalah indah,
menurutnya seni adalah segala perbuatan manusia yang timbul dan hidup
perasaannya dan bersifat indah hingga dapat menggerakkan jiwa perasaan manusia
lainnya,
d.
Akhdiat K. Mihardja : seni adalah kegiatan
manusia yang merefleksikan kenyataan dalam sesuatu karya, yang berkat bentuk
dan isinya mempunyai daya untuk membangkitkan pengalaman tertentu dalam alam
rohani sipenerimanya.
e.
Erich Kahler : seni adalah suatu
kegiatan manusia yang menjelajahi, menciptakan realitas itu dengan symbol atau
kiasan tentang keutuhan "dunia kecil" yang mencerminkan "dunia
besar".
Terdapat 5 ciri yang merupakan sifat dasar seni
(The Liang Gie, 1976) yang meliputi :
a.
Sifat kreatif dari seni. Seni
merupakan suatu rangkaian kegiatan manusia yang selalu mencipta karya baru.
b.
Sifat individualitas dari seni. Karya seni
yang diciptakan oleh seorang seniman merupakan karya yang berciri personal,
Subyektif dan individual.
c.
Nilai ekspresi atau perasaan. Dalam
mengapresiasi dan menilai suatu karya seni harus memakai kriteria atau ukuran
perasaan estetis. Seniman mengekspresikan perasaan estetisnya ke dalam karya
seninya lalu penikmat seni (apresiator) menghayati, memahami dan mengapresiasi
karya tersebut dengan perasaannya.
d.
Keabadian sebab seni dapat hidup
sepanjang masa. Konsep karya seni yang dihasilkan oleh seorang seniman dan
diapresiasi oleh masyarakat tidak dapat ditarik kembali atau terhapuskan oleh
waktu.
e.
Semesta atau universal sebab
seni berkembang di seluruh dunia dan di sepanjang waktu. Seni tidak dapat
dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Sejak jaman pra sejarah hingga jaman
modern ini orang terus membuat karya seni dengan beragam fungsi dan wujudnya
sesuai dengan perkembangan masyarakatnya.
Menurut The Liang Gie jenis nilai yang melekat
pada seni mencakup:
1) nilai keindahan,
2) nilai pengetahuan,
3) nilai kehidupan.
Nilai keindahan dapat pula disebut nilai
estetis, merupakan salah satu persoalan estetis yang menurut cakupan
pengertiannya dapat dibedakan menurut luasnya pengertian, yakni:
a)
Keindahan dalam arti luas (keindahan seni,
keindahan alam, keindahan moral dan keindahan intelektual),
b)
keindahan dalam arti estetis murni,
c)
keindahaan dalam arti estetis murni,
d)
keindahan dalam arti terbatas dalam hubungannya
dengan penglihatan.
2. Pengertian Musik
Musik adalah salah satu
media ungkapan kesenian, musik mencerminkan kebudayaan masyarakat pendukungnya.
Di dalam musik terkandung nilai dan norma-norma yang menjadi bagian dari proses
enkulturasi budaya, baik dalam bentuk formal maupun informal. Musik itu sendiri
memiliki bentuk yang khas, baik dari sudut struktual maupun jenisnya dalam
kebudayaan. Demikian juga yang terjadi pada musik dalam kebudayaan masyarakat
melayu.
Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1990: 602)
Musik adalah: ilmu atau seni menyusun nada atau suara diutarakan, kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai keseimbangan dan kesatuan, nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu)
Musik adalah: ilmu atau seni menyusun nada atau suara diutarakan, kombinasi dan hubungan temporal untuk menghasilkan komposisi (suara) yang mempunyai keseimbangan dan kesatuan, nada atau suara yang disusun sedemikian rupa sehingga mengandung irama, lagu dan keharmonisan (terutama yang dapat menghasilkan bunyi-bunyi itu)
Sehingga Seni musik
adalah cetusan ekspresi perasaan atau pikiran yang dikeluarkan secara teratur
dalam bentuk bunyi. Bisa dikatakan, bunyi (suara) adalah elemen musik paling
dasar. Suara musik yang baik adalah hasil interaksi dari tiga elemen, yaitu:
irama, melodi, dan harmoni. Irama adalah pengaturan suara dalam suatu waktu,
panjang, pendek dan temponya, dan ini memberikan karakter tersendiri pada
setiap musik. Kombinasi beberapa tinggi nada dan irama akan menghasilkan melodi
tertentu. Selanjutnya, kombinasi yang baik antara irama dan melodi melahirkan
bunyi yang harmoni.
Musik termasuk seni
manusia yang paling tua. Bahkan bisa dikatakan, tidak ada sejarah peradaban
manusia dilalui tanpa musik, termasuk sejarah peradaban Melayu. Dalam
masyarakat Melayu, seni musik ini terbagi menjadi musik vokal, instrument dan
gabungan keduanya. Dalam musik gabungan, suara alat musik berfungsi sebagai
pengiring suara vokal atau tarian. Alat-alat musik yang berkembang di kalangan
masyarakat dayak ngaju di antaranya: kecapi, rebab, gendang, kangkanung dan
gendang. Alat-alat musik di atas menghasilkan irama dan melodi tersendiri yang
berbeda dengan alat musik lainnya
Ada
ajaran agama tertentu yang meyakini bahwa kesenian seperti musik, nyanyian,
tari-tarian, lukisan, ukiran, dan sebagainya adalah berasal dari setan.
Sehingga para penganutnya tidak dapat menghargai lagi kesenian dan kebudayaan
warisan nenek moyang sebelum agama tersebut diajarkan dan dianut oleh para keturunannya.
Sangat mudah bagi mereka membuang segala jenis kesenian yang dianggap tidak
sesuai dengan ajaran agama barunya, tanpa memikirkan betapa pentingnya
melestarikan budaya leluhur yang begitu indah. Berbeda dengan agama-agama ini,
dalam Hindu kesenian dan budaya tak dapat dipisahkan dari hidup keagamaan.
Khususnya di India Selatan, tempat kebudayaan Veda masih bertahan dengan
keaslian bentuknya selama ribuan tahun, seni budaya mendapat tempatnya yang
sangat terhormat.
Bagi
umat Hindu dari India Selatan dan terutama bagi para Vaishnava sebagaimana yang
kami ketahui, seni budaya salah satunya musik, adalah bagian yang sangat
penting dalam kuil-kuil kita. Dia membawa pemuja menjadi lebih dekat dengan
Tuhan. Musik-musik kuil begitu manis bagi telinga dan begitu menyejukkan hati.
Agama-sastra atau Tantra-sastra merumuskan berbagai kidung-kidung pujian Veda
yang berbeda-beda untuk dinyanyikan selama melaksanakan berbagai ritual
pemujaan di kuil. Lagu-lagu Veda diatur dalam suatu pola khusus yang disebut Devapani.
Veda Sama Ganam (Sama Veda) adalah naskah musikal yang menjadi asal muasal
semua jenis musik klasik India. Pengidungan Sama Ganam merupakan bagian yang
esensial dari pemujaan sehari-hari di kuil-kuil. Alat-alat musik yang
berjenis-jenis, dipelihara dalam kuil adalah untuk mengiringi lagu-lagu suci
ini. Ketika Suprabhatam pada pagi hari, Yang Mahakuasa dibangunkan dengan irama
musik dan setelah menghias Citra Suci-Nya dengan berbagai busana dan
bunga-bungaan, mantra Veda tertentu yang disebut Mantra-pushpam dinyanyikan
oleh sekelompok pendeta. Setelah itu Nadaswaram dan Tavil, dua alat musik yang
sangat khas dari India Selatan, akan dimainkan untuk menghibur Tuhan. Biasanya
tidak ada ritual apapun yang dilaksanakan tanpa iringan musik dan lagu-lagu
dari Veda. Pemujaan akan dilakukan empat kali dalam sehari dan tiap kalinya
selalu diiringi dengan musik. Pada saat upacara Abhisekam,
upanisad-upanisad akan didaraskan disertai alunan merdu berbagai alat musik
seperti nadaswaram dan sebagainya. Ketika Arca dibawa berpawai keluar kuil juga
diiringi berbagai jenis tetabuhan. Pada saat pemujaan terakhir pada malam hari
(Ekantha Seva), Yang Mahakuasa juga dibuai alunan suara musik yang
menyenyakkan.
Musik
klasik India bersifat kebaktian dan mengandung semangat pengabdian kepada
Tuhan. Sepanjang periode Veda sampai jaman musik klasik, telah berkembang
ribuan pemusik yang menggubah dan menyanyikan berjuta lagu-lagu kebaktian
rohani untuk memuliakan Tuhan. Setelah bangkitnya gerakan bhakti, semangat
pengabdian orang-orang mulai berkobar-kobar dan lagu-lagu rohanipun menjadi
sangat terkenal. Adalah pada abad ke-10 seorang pemusik suci dan filsuf yang
agung bernama Sri Nathamuni tertarik dengan lagu-lagu dari Nammalvar yang
pernah didengarnya tengah dinyanyikan sekelompok pemusik dari pedalaman India
Selatan. Terilhami oleh musik dan irama yang begitu indah dari lagu-lagu yang
sangat kuno ini, membuatnya lebih tertarik lagi untuk berusaha mengumpulkan
karya-karya sebelas Alvar lainnya yang hidup dalam berbagai abad. Dia berhasil
mendapatkan 4000 lagu semacam itu dan menyusunnya menjadi sebuah kitab yang
bernama Divya Prabandham, Kitab Kumpulan yang Suci.
Sri
Ramanuja, pelopor pembangkit dan penggerak bhakti-vedanta setelah memantapkan
filsafat Visishta-advaitanya menemukan bahwa sesungguhnya kumpulan 4000 lagu 12
Alvar ini tiada lain adalah refleksi langsung dari pemikiran-pemikiran Veda
yang mendalam dan lagu-lagu Nammalvar disebut sebagai Thiruvaymozhi, Lagu Suci
Yang Mahakuasa, karena mereka merupakan intisari dari Sama Veda. Sri Ramanuja
setelah memantapkan filsafat Visishta-advaita kemudian berkeliling India
menyebarkan dan membangkitkan kembali gerakan bhakti. Beliau mengadakan
reformasi di hampir semua kuil, terutama yang disebutkan sebagai 108 Divyadesam
(106 ada di bumi) dalam karya-karya para Alvar. Dia juga menegaskan bahwa
lagu-lagu Divya Prabandham yang ditulis dalam bahasa Tamil tidaklah lebih
rendah nilainya dari Veda-mantra, oleh karena itu hendaknya dinyanyikan oleh
sekelompok Prabandha Adhyapaka dalam setiap pemujaan harian dalam kuil-kuil
terutama di India Selatan. Dengan demikian Divya Prabandham memperoleh
kedudukannya sebagai Dravidavedam, Veda dari Negeri Selatan. Divya Prabandham
sendiri kemudian menjadi inspirasi bagi para penyair dan penggubah lagu rohani
selama berabad-abad setelahnya.
Pada Kaliyuga ini, dikatakan bahwa menyanyikan dan memuji kemuliaan nama suci Tuhan adalah sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kesempurnaan. Tuhan Srinivasa (Venkateshvara), yang berstana di Bukit Suci Thirumala, tempat perziarahan paling terkenal bagi umat Hindu terutama yang berasal dari India Selatan, telah sejak lama menjadi pusat pemujian oleh para Alvar, Acarya, dan penyair-penyair suci. Bagian-bagian dari Nalayira Divya Prabandham yang mengandung lagu-lagu dari para Alvar setiap hari dinyanyikan di hadapan Beliau. Salah satu Alvar, yaitu Sri Kulasekharan dalam syair-syairnya mengungkapkan keinginannya untuk terus-menerus lahir kembali di bukit Thirumala. “Apapun wujudnya, entah menjadi apapun, dengan cara apapun! Entah itu sebagai ikan, atau semak belukar, atau kerikil, ataupun bebatuan!” Keinginan satu-satunya hanyalah agar dapat selalu berkumpul dengan Thirumala dan para Bhakta. Cintanya kepada Tuhan memuncak dan berkobar-kobar menjadi hasrat yang tak tertahankan. Tuhanpun mengabulkan permohonannya ini. Tangga berlapis lempengan emas yang berada di dalam Garbhagriha (Ruang Mahasuci) kuil Thirumala disebut Kulasekharapadi, Tangga Kulasekhara. Di sinilah Sang Alvar dikenang selama-lamanya.
Pada Kaliyuga ini, dikatakan bahwa menyanyikan dan memuji kemuliaan nama suci Tuhan adalah sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kesempurnaan. Tuhan Srinivasa (Venkateshvara), yang berstana di Bukit Suci Thirumala, tempat perziarahan paling terkenal bagi umat Hindu terutama yang berasal dari India Selatan, telah sejak lama menjadi pusat pemujian oleh para Alvar, Acarya, dan penyair-penyair suci. Bagian-bagian dari Nalayira Divya Prabandham yang mengandung lagu-lagu dari para Alvar setiap hari dinyanyikan di hadapan Beliau. Salah satu Alvar, yaitu Sri Kulasekharan dalam syair-syairnya mengungkapkan keinginannya untuk terus-menerus lahir kembali di bukit Thirumala. “Apapun wujudnya, entah menjadi apapun, dengan cara apapun! Entah itu sebagai ikan, atau semak belukar, atau kerikil, ataupun bebatuan!” Keinginan satu-satunya hanyalah agar dapat selalu berkumpul dengan Thirumala dan para Bhakta. Cintanya kepada Tuhan memuncak dan berkobar-kobar menjadi hasrat yang tak tertahankan. Tuhanpun mengabulkan permohonannya ini. Tangga berlapis lempengan emas yang berada di dalam Garbhagriha (Ruang Mahasuci) kuil Thirumala disebut Kulasekharapadi, Tangga Kulasekhara. Di sinilah Sang Alvar dikenang selama-lamanya.
Tamil
Prabandham dan Tuhan Sri Srinivasa kemudian juga mengilhami Tallapaka
Annamacarya dalam menyanyikan lagu-lagu gubahannya dalam bahasa Telugu dan
Sanskrit. Dari sekitar 32000 lagu yang digubah olehnya, saat ini hanya tersisa
12000 saja. Lagu-lagu Kirtana seperti ‘Brahma Kadigina Padamu’ dan ‘Adivo
Alladivo Shri harivasamu’ sangatlah terkenal bahkan sampai sekarang.
Pengaruh kebaktian kepada Sri Srinivasa dapat pula dilacak pada ribuan lagu
yang dinyanyikan oleh penyembah yang sangat terkenal, Sri Purandaradasa. Hanya
beberapa ratus saja lagu-lagunya dalam bahasa Kannada yang sekarang tersisa. ‘Dasana
Maadiko Ena’, ‘Nambide Ninna Paadava Venkataramana’, adalah beberapa
dari lagunya yang sangat berharga. Sri Srinivasa juga membuat pemuja Sri Rama
yang melegenda, Swami Thyagaraja, penulis lebih dari 4000 lagu, turut
mencurahkan hatinya dalam bhakti yang tak terbatas kepada-Nya. ‘Tera
Teeyagarada’, ‘Venkatesha!’, ‘Ninnu Sevampinu’, adalah
sebagian dari karya-karya kebaktiannya yang termashyur bagi Tuhan dari Bukit
Venkata.
Tuhan telah memperkaya seluruh segi pendekatan bhakti dengan perantaraan musik yang indah, jalan yang termudah untuk menuju kepada-Nya. Veda tidak mematikan kreativitas seni mereka yang meyakininya. Justru setiap orang digugah untuk berkarya, menyatakan kecintaannya kepada Tuhan dengan bentuk kesenian yang paling indah. Kebudayaan asli daerahpun juga dikembangkan, terbukti dari dinyanyikannya kidung-kidung berbahasa selain Sanskrit seperti Tamil, Telugu, Kannada, dan lain-lain bersama-sama dalam upacara di kuil. Bagi umat Hindu, Tuhan memberikan banyak cara dan kesempatan untuk menjadi lebih dekat dengan-Nya. Hal ini telah dibuktikan oleh para rohaniwan agung dari segala abad. Sungguh kita bersyukur atas anugerah-Nya yang istimewa ini, kini dan untuk selama-lamanya.
Tuhan telah memperkaya seluruh segi pendekatan bhakti dengan perantaraan musik yang indah, jalan yang termudah untuk menuju kepada-Nya. Veda tidak mematikan kreativitas seni mereka yang meyakininya. Justru setiap orang digugah untuk berkarya, menyatakan kecintaannya kepada Tuhan dengan bentuk kesenian yang paling indah. Kebudayaan asli daerahpun juga dikembangkan, terbukti dari dinyanyikannya kidung-kidung berbahasa selain Sanskrit seperti Tamil, Telugu, Kannada, dan lain-lain bersama-sama dalam upacara di kuil. Bagi umat Hindu, Tuhan memberikan banyak cara dan kesempatan untuk menjadi lebih dekat dengan-Nya. Hal ini telah dibuktikan oleh para rohaniwan agung dari segala abad. Sungguh kita bersyukur atas anugerah-Nya yang istimewa ini, kini dan untuk selama-lamanya.
Seni sebagai media, memiliki kekuatan yang dapat memenuhi
kebutuhan dan keperluan manusia. Pada jaman prasejarah kelompok orang dalam
masyarakat tampak memuja dewa, roh, atau sesuatu yang khusus dengan
memukul gendang dan bunyi-bunyian. Jadi seni musik mempunyai fungsi kerohanian
untuk mendekatkan manusia dengan dewa yang dipuja. Kemudian fungsi ini
diteruskan dalam kehidupan tari-tarian. Dengan demikian seni tari juga
meneruskan fungsi spiritual itu (The Liang Gie, 2004: 47-48). Hal ini wajar,
karena kehidupan seni juga diamanatkan dalam kitab suci Veda ( Titib. 1998 :
464 – 467).
Bagi kehidupan masyarakat Hindu, fungsi dimaksud tampak
masih berlangsung. Hal ini terbukti dari adanya gamelan dan tari-tarian sakral
yang hanya dimanfaatkan atau disuguhkan dalam suatu upacara tertentu, seperti tari
sangiang, topeng sidakarya, dan yang lainnya, yang difungsikan sebagai
kekuatan penolak kejahatan dalam rangka memohon keselamatan dan kesejahtraan
lahir batin bagi umat dalam arti luas.
Sejalan dengan kebutuhan hidup dan kehidupan masyarakat,
maka fungsi seni juga mengalami perkembangan, seperti fungsi pendidikan, yang
dapat menjangkau beberapa hal seperti : keterampilan, dan berbagai kreatifitas
lainnya. Yang tidak kalah pentingnya dari pada fungsi seni itu sendiri adalah
fungsi komunikatif. Dengan demikian kesenian memiliki konteks yang beraneka
ragam sesuai dengan kebutuhan dan struktur sosial budaya masyarakat pendukunya.
Hal ini wajar karena seni pada dasarnya mengandung berbagai nilai. Nilai
utamanya adalah estetika, yakni mencipta sesuatu yang menawan bagi penerimanya.
Nilai lainnya adalah nilai pengetahuan dan informasi.
Lebih lanjut dikatakan bahwa yang paling penting dalam seni adalah nilai hidup
yang diungkapkan di dalamnya. Nilai-nilai ini berupa problematik yang biasanya
dipandang secara filsafati, disadari atau tidak oleh senimannya. Nilai hidup
ini menunjukkan tingkat kepahaman seniman terhadap kehidupan ini, juga
menunjukkan luasnya pandangan seniman. Nilai-nilai seni yang digemari oleh kaum
cendekiawan adalah nilai-nilai ini. Kesenian lalu dipandang sebagai suatu
metode untuk mengungkapkan kepahaman terhadap suatu kehidupan. Kalau ilmuwan
dan filosuf memahami hidup ini dengan disiplin nalarnya, maka seniman bukan
hanya bekerja berdasakan nalar, melainkan dengan seluruh aspek dimensi rohani
manusia, seperti menghayati hidup sehari-hari. Bedanya bahwa bagi
ilmuwan penghayatan hidup sehari-hari berlangsung tanpa bentuk, sedangkan pada
seniman penghayatan, dibingkai dalam bentuk intisari hakiki pemahamannya (
Sumardjo,2000:199-200).
Uraian di atas menggambarkan bahwa keutamaan seni bukan
hanya dinilai dari segi keindahan saja, melainkan juga kemapuannya mengungkap
sesuatu seperti nilai sejarah, agama dan sebagainya. Khususnya berkaitan dengan
agama, tidak terkecuali termasuk agama Hindu, dalam rangka penyampaikan
ajaran-ajarannya sering dilakukan melalui media seni. Bahkan bagi kebanyakan
seniman dan masyarakat pada umumnya menganggap dan merasakan bahwa penyampaian
ajaran agama terasa lebih efektif dan lebih meresap bila dilakukan melalui
pemanfaatan media seni. Dikatakan demikian karena melalui media seni di samping
dapat disampaikan ajaran agama sekaligus juga sebagai hiburan. Dengan demikian
seni memiliki multi fungsi. Multi fungsi ini yang menyebabkan orang merasa
lebih tertarik dan lebih cepat mengerti mempelajari agama memlaui media seni,
baik itu seni pentas seperti: seni pertopengan; seni pedalangan, seni rupa dan
sebagainya. Melalui kesenian ini banyak dapat disampaikan tentang ajaran agama dan
filsafat kehidupan manusia.
Kemanunggalan agama dan seni sebagai potensi pembentukan
budi pekerti, telah dijelaskan bahwa nilai agama meresap dan menjiwai seluruh
aspek kehidupan manusia termasuk kehidupan dalam berkesenian. Sebaliknya seni
dapat dimanfaatkan sebagai media, baik untuk mendekatkan manusia dengan dewa
yang dipuja maupun untuk menginformasikan dan mengkomunikasikan nilai-nilai
agama kepada masyarakat. Ini bentuk kemanunggalan agama dan seni.
Realitanya tampak jelas ketika agama berbicara masalah
unsur-unsur ritual, kehadiran seni dalam ritual agama tidak dapat dielakkan
lagi, menjadi satu kesatuan yang akrab dan padu (Sumandiyo Hadi,2006:297).
Dalam konteks ritual agama, khususnya dalam agama Hindu, tampak jelas bahwa
polanya benar-benar alamiah. Kegiatan semacam ini dapat dilihat dalam pola-pola
kepercayaan mitos dengan jenis-jenis ritus magis. Dalam hal ini seni
diyakini mengandung kekuatan untuk dapat menghubungkan kehendak manusia dengan penguasa-Nya.
atau untuk menyiasati perjalanan alam, dan mempengaruhi kekuatan lainya.
Karena itu seni dimanfaatkan atau difungsikan sebagai media dalam
kegiatan dimaksud, yang secara fungsional memiliki dimensi vertikal dan
horisontal.
Secara vertical terkait antara hubungan munusia dengan
Sang Pencipta atau Penguasa alam. Hal ini tampak jelas ketika seorang
seniman ( penari) sering terjadi kontaks dengan Sang Pencipta dan terjadi trans
(kerauhan). Sedangkan secara horizontal kaitannya, antara manusia dengan
manusia, dalam hal ini seni berfungsi sebagai media informasi dan komunikasi
untuk menyampaikan nilai-nilai ajaran agama, yang seakaligus berfungsi sebagai
potensi pembentuk moral dan budi pekerti.
Hal ini jelas, karena seni sejatinya sebagai media
informasi dan komunikasi, akan senantiasa mempublikasikan nilai-nila ajaran
agama yang dikemas ke dalam nilai budaya agama Hindu yakni: siwam (kesucian),
satyam (kebenaran), dan sundaram (keindahan) lewat
potensi rasa dan intuisi, serta melalui potesi ini pula manusia /masyarakat
dibawa dan diangkat ke dalam pengalaman-pengalaman intuitif dan moral yang
lebih tinggi. Seni memberikan pengalaman-pengalaman transcendental yakni
siraman rohani kepada manusia /masyarakat, yang bisa jadi pengalaman. Inilah
moral yang digali dan diangkat dari bingkai agama Hindu kemudian disentuhkan
kepada manusia /masyarakat melalui media seni, yang sesungguhnya semuanya itu
merupakan sinergi antara agama Hindu dengan seni dalam rangka pembentukan budi
pekerti manusia.
Kekuatan seni untuk mengangkat, menginformasikan dan
mempublikasikan nilai agama dimaksud mencakup isi dari pada kerangka agama
Hindu yakni: tattwa, susila dan upacara, dengan kemasan siwam,
satyam, sundram. Pada prinsipnya semua seni memiliki kekuatan sebagai media
infomasi dan potensi pembentukan budi pekrti seperti tersebut di atas, namun
demikian dapat dipahami bahwa dari penggolongan seni yang ada, seni pertunjukan
memiliki fungsi yang sangat dominan sebagai media, dan hampir semua jenis seni musik
memilki kekuatan seperti itu. Peningkatan budi pekerti dimaksud teraplikasi
dalam Tri Hita Karana, yakni dalam hubungan manusia dengan Ida Sang Hyang Widhi
Wasa / Tuhan Yang Maha Esa, hubungan manusia dengan sesama, dan hubungan
manusia dengan lingkungan. Hubungan antar manusia dengan Tuhan dapat
meningkatkan rasa percaya yang lebih mendalam kehadapan
Beliau (Tuhan), sehingga tumbuh rasa hormat dan bakti
kehadapan-Nya. Hubungan antar manusia dengan sesama menumbuhkan toleransi yang
tinggi dengan segala etika baik dalam hal berpikir, berbicara maupun berbuat
sesuatu. Hubungan antar manusia dengan alam lingkungan akan menumbuhkan rasa
cinta terhadap alam lingkungan, sehingga manusia tidak berbuat sembarangan
terhadap lingkungan, dan bahkan ingin memelihara lingkungan karena adanya rasa
saling berkepentingan dan saling menguntungkan untuk kebutuhan hidup. Inilah
wujud nyata sinergi agama Hindu dengan seni sebagai potensi pembentukan budi
pekerti.
Agama Hindu senantiasa menerapkan ajaran-ajaran mulia
yang benar-benar mendorong dan menuntun orang-orang untuk dapat berbuat yang
lebih mulia. Dalam menyampaikan ajaran-ajarannya, seni merupakan salah satu
media yang sangat efektif. Dikatakan demikian karena melalui media seni di
samping masyarakat dapat menikmati hiburan sekalian dapat memetik nilai-nilai
spiritual yang terkandung dalam ajaran agama.
Kegiatan-kegiatan nyata seperti ini dapat dilihat dalam
pola-pola kepercayaan mitos dengan jenis-jenis ritus magis. Dalam hal ini seni
diyakini mengandng kekuatan yang dapat menghubungkan kehendak manusia dengan penguasa-Nya,
dan dengan roh roh nenek moyang, atau dapat dimanfaatkan untuk
menyiasati perjalanan alam dan mempengaruhi kekuatan lain. Dengan demikian
secara fungsional seni memiliki dimensi vertikal dan horizontal. Secara
vertical adalah menyangkut hubungan seni dengan Sang Pencipta, sedangkan secara
horizontal adalah menyangkut hubungan seni dengan masyarakat pendukung/penikmat
seni dalam sentuhan pesan-pesan spiritual agama meliputi tattwa, susila
dan upacara yang disampaikan dengan kemasan siwam, satyam sundaram.
Sehingga para pendukung/penikmat seni dapat mencerna dengan gamblang,
nilai-nilai yang positif, yang dapat dimanfaatkan menuju ke arah peningkatan
moral.
Kegiatan seperti ini biasa dijumpai dalam berbagai
aktivitas dan kreativitas seni terutama dalam seni pertunjukan, seperti seni
pertopengan, yang dalam konteks pementasannya senantiasa mensinergikan
nilai-nilai ajaran agama dengan seni sebagai potensi pembentukan budi pekerti.
C. Peranan Musik Dayak dalam Kegiatan Upacara
Balian Sebagai Salah Satu upacara Ritual Keagamaan Agama Hindu Kaharingan
Irama musik Dayak Ngaju dalam upacara balian yang dihasilkan oleh suara
katambung dan lantunan doa oleh Basir merupakan salah satu unsur budaya yang lahir
dari proses intelektualitas dan dimaknai bersama oleh masyarakat pemiliknya. Ia
merupakan produk agama maupun kepercayaan yang lahir dari kebiasaan-kebiasaan
yang turun temurun yang wariskan oleh nenek moyang umat yang beragama Hindu
Kaharingan. Ia juga merupakan wadah kreativitas masyarakat dengan berpatokan
pada nilai-nilai estetis yang di dalamnya terdapat sistem pemaknaan bersama.
Hal ini karena irama musik Dayak Ngaju merupakan hasil dari proses sosial dan bukan
proses perorangan. Artinya walau musik tersebut diciptakan oleh satu orang,
namun dalam perkembangannya ia mengalami perubahan akibat tingkah laku
masyarakat secara kolektif terhadap musik tersebut, maka secara otomatis
mengalami pemaknaan secara kolektif pula, sesuai dengan sifat masyarakat
pendukungnya.
Kedekatan musik dengan kehidupan masyarakat Dayak Ngaju dapat dikatakan
musik mempengaruhi seseorang untuk menginterpretasikan sesuatu yang dirasakan
dan diyakini, atau sebagai wadah apresiatif yang berhubungan dengan kehidupan.
Ia merupakan pengungkapan simbol, nilai, dan fungsi, sehingga ketiga unsur
tersebut dapat menunjang keberadaan musik dan memberikan makna khusus bagi
kehidupan masyarakat.
Irama musik Dayak Ngaju dipandang erat kaitannya dengan konteks aktivitas
budaya yang dilaksanakan.. Ia merupakan realisasi sebuah konsep perilaku dan
pemikiran masyarakat sesuai dengan adat dan tradisi yang berlaku, sehingga
segala yang terkandung di dalamnya merupakan transpormasi nilai kehidupan
masyarakat pemiliknya.
Irama musik Dayak Ngaju dibagi menjadi dua bagian, yaitu musik yang
berhubungan dengan keduniawian atau musik profan, seperti pada saat upaca
balian, dan musik yang berhubungan dengan kepercayaan atau agama yang sering
disebut dengan musik ritual. Perbedaannya terletak pada pola tabuhan dan
sebagai instrumen utama, maksudnya untuk mengetahui jenis-jenis musik tersebut
dapat didengarkan melalui bunyi permainan..
Irama musik secara keseluruhan terbagi menjadi delapan bagian, yaitu: (1)
Irama Musik Bagu; (2) Irama Musik Bawakng; (3) Irama Musik Jubata; (4) Irama
Musik Panyinggon; (5) Irama Musik Sipanyakng Kuku; (6) Irama Musik Ngaranto;
(7) Irama musik Dendo; dan (8) Irama musik Totokng. Seluruh tabuhan itu
digunakan untuk iringan tari dan dalam ansambel kesenian Jonggan atau salah
satu kesenian musik tradisional Dayak Kanayatn. Keseluruhan musik tersebut
dipercaya lahir dari tradisi perdukunan dan dianggap mempunyai kekuatan magis,
sehingga selalu digunakan dalam upacara Balian.
Pengertian irama bukan seperti pengertiannya dalam musik barat, yaitu
sebagai alunan nada-nada yang membentuk satu bagian utuh atau lebih dari sebuah
musik. Pengertian irama bagi masyarakat Dayak Kanayatn sama dengan motif
tabuhan yang dimainkan oleh instrumen Dau, karena perbedaan irama satu dengan lainnya
terletak dari tabuhan . Disamping itu masyarakat Dayak Ngaju tidak mempunyai
penamaan khusus mengenai irama atau motif tabuhan, dimungkinkan mereka
mengambil istilah dalam musik barat, dimana pengertian irama sama dengan lagu.
Pengertian lagu di sini bukan seperti pengertian bentuk nyanyian utuh,
melainkan irama-irama musik atau motif tabuhan yang dimainkan. Misalnya pada
saat mereka hendak memainkan irama pada upacara balian, maka mereka sering
menyebutnya dengan lagu pada saat balian. Dari sini dapat diketahui bahwa yang
dimaksud dengan irama sama dengan lagu atau motif tabuhan Dau menurut
masyarakat Dayak Ngaju.
Kebanyakan panjang motif musik Dayak Ngaju terdiri dari satu birama,
namun ada pula yang mengisi penuh dua atau beberapa ruang birama. Disamping itu
antara motif satu dengan motif lainnya terdapat banyak kesamaan, terutama
motif-motif tabuhan dalam satu rumpun. Hal ini disebabkan adanya variasi pola
tabuhan, seperti pembalikan, penyempitan, serta pelebaran pola ritme dan pola
melodi. Misalnya irama musik Balian yang mempunyai kesamaan pola ritme tabuhan
Perkembangan teknologi dan masuknya kesenian modern (populer) menyebabkan
masyarakat Dayak mulai meninggalkan budaya musik tradisi secara perlahan.
Fenomena ini dapat dilihat dengan merebaknya musik-musik pop yang banyak
digemari anak muda, dibanding kesenian tradisi yang mereka miliki. Selain itu
kelangkaan dokumentasi terjadi karena belum terdapat data tertulis tentang
irama musik tersebut, kecuali musik tertentu dalam konteks upacara tertentu
pula, sehingga menyebabkan kurangnya pengetahuan masyarakat terhadap musik
tersebut. Meskipun irama musik Dayak Ngaju masih digunakan dalam beberapa
upacara dan hiburan, namun masyarakat tidak mengerti arti penting yang
terkandung di dalamnya. Padahal keberadaan musik tersebut sebagai dasar tradisi
musikal Dayak Ngaju sangat penting diketahui dan dipelajari untuk penunjang
perkembangan budaya dan masyarakat pemiliknya.
Makna eksistensi irama musik Dayak Ngaju mengarahkan pemahaman masyarakat
bahwa musik tersebut mengandung nilai falsafah dan makna simbolis kehidupan
masyarakat dan juga berperan sebagai sarana komunikasi antara manusia dengan
Ranying Hatalla melalu perantara Basir. Hal ini karena irama musik Dayak Ngaju
mengandung nilai-nilai luhur sebagai perwujudan realitas budaya. Segala ciri
khas kehidupan masyarakat tergambar di dalamnya, selanjutnya musik itu mewakili
alam pikiran masyarakat mengenai konsep-konsep religi, adat, dan tingkah laku
untuk dihayati dan dipelajari sebagai pedoman kehidupan mereka. Ia merupakan
pengejawantahan nilai adat dan tradisi, oleh karena itu ia dapat dikatakan
sebagai identitas budaya lokal.
Seni musik dalam upacara balian yang menggunakan alat musik yang disebut
dengan katambung atau dalam bahasa Sangiang disebut dengan sambang bulau. Alat musik ini adalah alat musik yang mempunyai nilai
kesakralan karena alat musik ini selalu digunakan dalam setiap upacara
keagamaan agama Hindu Kaharingan.
Jadi seni musik bagi agama Hindu Kaharingan pada upacara Balian mempunyai
peranan yang sangat penting karena dengan media seni tersebut hubungan antara
manusia dengan Tuhan bisa dilakukan.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari beberapa uraian diatas dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut :
-
Seni musik adalah cetusan ekspresi perasaan atau
pikiran yang dikeluarkan secara teratur dalam bentuk bunyi.
-
Pada Kaliyuga ini, dikatakan bahwa menyanyikan dan memuji
kemuliaan nama suci Tuhan adalah sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai
kesempurnaan
-
Makna eksistensi irama musik Dayak
Ngaju mengarahkan pemahaman masyarakat bahwa musik tersebut mengandung nilai
falsafah dan makna simbolis kehidupan masyarakat dan juga berperan sebagai
sarana komunikasi antara manusia dengan Ranying Hatalla melalu perantara Basir.
B.
Saran
Hendaknya kita selalu mempelajari berbagai macam ilmu
pengetahuan yang berguna bagi kita agar kita mampu dengan mudah mengarungi
kehidupan di dunia ini.
DAFTAR
PUSTAKA
Alan P. Meriam, “The Anthropology of Music” seperti dikutip
I Komang Sudirga dalam bukunya Cakepung: Ansambel Vokal Bali (Yogyakarta: Kalika
Press, 2005).
A.R Redcliffe Brown, Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat
Primitif (Kuala Lumpur: Percetakan Dewan Bahasa dan Pustaka, 1980), p. 210.
A.R. Redcliffe Brown, “Struktur dan Fungsi dalam Masyarakat
Primitif”, seperti yang dikutip I Komang Sudirga, op.cit., p. 128.
Bambang Marhijanto, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia Populer
(Surabaya: Bintang Timur, 1995),
I Wayan Senen, “Aspek Ritual Musik Nusantara”, makalah yang
diajukan dalam rangka peringatan Lustrum II ISI Yogyakarta, 23 Juli 1994.
Edy Sedyawati, Pertumbuhan Seni Pertunjukan (Jakarta: Sinar
Harapan, 1981),
Lahajir, Etnoekologi Perladangan Orang Dayak Tunjung
Linggang (Yogyakarta: Galang Press, 2001),
Mulyadi, et.al., Upacara Tradisional Sebagai Kegiatan
Sosialisasi Daerah Istimewa Yogyakarta (Yogyakarta: Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan DIY, 1984),
Regina, Mantra in Baliatn in The Dayak Society (Malang: IKIP
Malang, Tesis S-2, 1997),
a
Tidak ada komentar:
Posting Komentar